-
Minggu, 28 Maret 2010
Pasar Loyal untuk Busana Etnik
Kamis, 4/3/2010 | 14:02 WIB
KOMPAS.com - Busana dengan gaya etnik lagi ngetren saat ini. Pilihannya cukup bervariasi, tak cuma batik, tetapi juga kain-kain tenun atau ikat dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Nusa Tenggara.
Bila Anda jalan-jalan ke ITC Kuningan atau ITC Permata Hijau, Anda juga bisa menemukan busana dan aksesori etnik dari Thailand, India, dan China. Di ITC Kuningan, misalnya, ada Yuni's Butik yang memamerkan koleksi pakaian dari tempat-tempat tersebut.
Yuni Prawito, sang pemilik butik, tidak menyangka bahwa keisengannya membawa barang-barang etnik dari Thailand bakal mendapat respons cukup baik. Saat itu, sekitar tahun 1993, Yuni membantu salah seorang temannya untuk menjual sepatu, tas, dan pakaian dari Hongkong. ''Saya hanya membantu menjual. Tetapi barang-barang teman yang saya jual itu laku keras,'' kenangnya.
Berbekal keyakinan bahwa barang-barang semacam itu cukup memiliki pasar di Indonesia, Yuni pun bertekad melakoni bisnis yang sama. Ia bahkan diberi modal usaha oleh suaminya. Tak banyak, hanya Rp 10 juta. Namun jika sebelumnya ia hanya mengambil barang dari Pasar Pagi atau Tanah Abang, saat itu Yuni mulai memberanikan diri berburu barang ke luar negeri.
Negara tujuannya berburu antara lain Singapura, Kuala Lumpur, dan China. Ia termasuk salah satu yang pertama membawa sepatu merek Vincci di Jakarta (meskipun secara tidak resmi). Sejak saat itu ia kebanjiran banyak pesanan dari pelanggan, yang kebanyakan adalah teman dekat, teman kantor, dan ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalnya.
Walaupun sudah punya pelanggan dan modal tetap, waktu itu Yuni mengaku belum berani membuka butik. Ia hanya memanfaatkan garasi rumahnya untuk tempat ia berjualan.
Mengunjungi suku Long Neck
Tahun 1995, Yuni mulai mencari negara lain untuk kulakan baju-baju etnik. Untuk mendapatkan koleksi yang masih orisinal, Yuni berusaha mencari daerah pedesaan. Berbekal browsing di internet, ia menemukan salah satu daerah yang berjarak satu malam perjalanan dari Chiang Mai, Thailand.
Daerah yang ia maksud ternyata adalah tempat tinggal suku Karen, atau yang dikenal sebagai suku Long Neck. Anda mungkin sudah pernah mendengar suku ini; kaum perempuan di desa ini mengenakan kumparan dari kuningan sejak umur 6 tahun. Setiap kali jumlah kumparan ditambah, sehingga kelak membuat leher mereka menjadi panjang.
Perempuan suku Karen juga dikenal sebagai pembuat tribal arts, serta handycraft seperti patung kayu, wall hanging, dan berbagai perhiasan perak. Di sanalah Yuni berbelanja berbagai tas, sepatu, sandal, aksesori, dan pakaian buatan tangan kaum perempuan di desa ini.
''Mereka itu punya seni dan kreativitas yang baik, sehingga barang-barang yang mereka hasilkan juga bernilai tinggi,'' puji perempuan yang hobi traveling ini.
Karena suku Karen tak bisa berbahasa Inggris, untuk melakukan tawar-menawar harga Yuni mengaku punya cara khusus. ''Saya perlihatkan angka di kalkulator untuk menawar barang yang saya beli,'' ujarnya seraya tertawa.
Boleh bayar nyicil
Pakaian dan aksesori etnik dari negara-negara Asia ini ternyata cukup disukai pelanggan. Bahkan, ia harus berbelanja barang setiap tiga bulan, karena stok barang mulai habis. Cepatnya stok menipis sebagian karena Yuni tidak membeli sepatu, tas, sandal, atau pakaian, dalam jumlah banyak. Satu item barang ia batasi sekitar 6 buah saja. Itu pun dengan motif yang berbeda.
''Saya buat limited edition, karena memang pelanggan tidak suka terlalu banyak barang yang sama, karena kesannya jadi seperti pasaran,'' tutur perempuan berusia 53 tahun itu. ''Terkadang ada juga pelanggan yang pesan motif atau model tertentu, mungkin setelah mereka melihat di internet.''
Meskipun hanya tersedia dalam jumlah terbatas, harga yang ia tawarkan untuk koleksi butiknya itu tidak tergolong mahal. Untuk barang non handmade seperti pakaian ia hargai Rp 150.000 - Rp 400.000. Sedangkan untuk barang handmade, berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Harga yang sama juga ia terapkan untuk koleksi lain seperti tas dari kain perca, sulam kristik, atau bordir.
Karena telah memiliki pelanggan tetap, tahun 2002 Yuni mulai membuka kios di ITC Kuningan, Jakarta Selatan. Untuk mempromosikan koleksi dari kiosnya, Yuni memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook. Banyak pelanggan yang minta dikirimi contoh barang langsung ke rumahnya. Tak jarang pula Yuni menerima permintaan khusus melalui ponselnya.
''Lihat ini, salah satu pelanggan royal saya minta di-MMS model yang baru, soalnya dia tidak bisa buka e-mail,'' terangnya.
Yuni memang berusaha memberikan layanan yang memuaskan untuk para pelanggannya. Untuk sistem pembayaran, misalnya, tidak semua barang harus dibayar lunas. ''Ada juga yang dikredit tiga kali bayar, atau sesuai dengan kesanggupan mereka,'' ujar perempuan yang kini bisnisnya menghasilkan omzet antara Rp 5-10 juta per bulan.
Selalu update dengan model-model terbaru, dengan sistem pembayaran yang memudahkan, tidak mengherankan bila butik Yuni selalu didatangi pelanggan baru.
C2-10
Editor: din
Diposting oleh
BISNIS ONLINE
di
Minggu, Maret 28, 2010
Label:
dari kompas.com,
Pasar Loyal untuk Busana Etnik,
pengusaha,
seri usaha
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran, Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan informasi