Kolom Investasi Kerjasama

Selamat Datang Dan Berbagi Ilmu Pengetahuan

Salam kunjung!

Dengan mengunjungi Blog saya, saya berharap anda kan tumbuh jiwa wirausaha baru sehingga tercipta lapangan kerja baru yang tangguh dan berjaya di bumi pertiwi INDONESIA, meski pemerintah kita belum siap untuk konsisten menjalankan pemberdayaan sejati yang berbasis Output/ Hasil nyata dari program yang diterapkan dan berpaku pada laporan / data belaka.

Salam Enterpreneur Sejati!!

Rabu, 03 November 2010

Bengkel Motor

gambar 1 : pekerjaan awal membangun sebuah bengkelgambar 2 : Bengkel telah beroperasi
Angka penjualan sepeda motor yang terus meningkat, semakin banyak terlihat sepeda motor mendominasi jalanan serta harga bensin yang selalu naik belum lagi ditambah dgn masih banyaknya sepeda motor keluaran 5 – 10 thn yg lalu yg masih berseliwaran dijalanan. Bengkel Motor adalah bagian dari penunjang fakta tsb.


Bengkel ini dibuka bulan Juni 2009 lalu, persiapannya :

1. Lokasi, lakukan survey dengan melihat :

1.1. jumlah sepeda motor yg lalu-lalang,

1.2. perumahan disekitar Bengkel.

1.3. kompetitor Bengkel lain yang ada disekitar lokasi dimana Bengkel mau dibuka.

2. Cari Mekanik, persiapannya :

2.1. rencanakan jumlah rata-rata sepeda motor yang akan diservice per hari.

2.2. pertimbangkan area service.

Baru kemudian bisa menentukan kebutuhan mekaniknya.

3.Tentukan jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan di Bengkel, kemudian cari alat-alat keperluan Bengkel.

Besar investasi sebuah Bengkel bergantung pada keinginan kita. Untuk contoh Bengkel seperti pada gambar ini investasinya 125 juta. Pencatatan pelanggan dan jenis perbaikan, inventory spare parts serta Administrasinya sudah menggunakan System Komputerisasi.

Pada bulan September 2009, Bengkel ini sudah bisa membiayai operasionalnya yang terdiri dari gaji karyawan, listrik, telp.

Bila kebetulan rekan-rekan sudah lama mempunyai ide bikin Bengkel, ini bisa jadi semangat untuk mewujudkan ide tersebut, untuk detailnya silakan e-mail di sukses@peluangide.com.

Sumber : copy from other blog.

Bubur Ayam


Salah satu menu sarapan pagi favorit adalah BUBUR AYAM.

Di Jl. Sumagung 3 daerah Kelapa Gading, seorang sahabat mengambil alih warung BUBUR AYAM. (Niko, nama sahabat saya tidak mempunyai pengalaman dalam usaha makanan. Sebagian besar waktunya digunakan untuk meng-inspirasi setiap individu or group untuk “SUCCESS TOGETHER”).

Total modal yang dikeluarkan untuk mengambil alih usaha tersebut adalah 5 jt-an. 1 mangkuk Bubur Ayam + Teh Manis harganya 9 ribu, jam buka dari jam 6 pagi hingga jam 12 siang dan selalu habis Buburnya.. Setelah dikurangi gaji karyawan, belanja bahan-bahan dan biaya sewa ruang 1 juta sebulan, rata-rata penghasilan bersih dari usaha bubur Ayam tersebut antara 2 jt hingga 3 jt-an (tidak sama setiap bulannya).

Niko sangat jarang sekali datang ke warungnya, kontrol dilakukan hanya dengan laporan harian belanja bahan2 mentah dan laporan harian penjualan. Hasil penjualan (pemasukan) disetor ke rekening Niko hari itu juga (karena dekat BCA). Sangat SIMPLE … (tapi tetap ada pembukuannya yach).

Semoga anda lebih ter-inspirasi
SALAM ENTERPRENEURSHIP

Resep Bubur Ayam

Bahan Bubur Ayam :
300 gram beras, cuci bersih
2.000 ml air
4 lembar daun salam
garam secukupnya

Bahan Kuah Bubur Ayam :
1/2 ekor ayam kampung, potong-potong
2.000 ml air
2 batang serai, memarkan
3 lembar daun salam
1 ruas ibu jari lengkuas, memarkan
minyak goreng secukupnya

Resep Bumbu Bubur Ayam (dihaluskan) :
6 butir bawang merah
4 siung bawang putih
1/2 sendok teh merica bubuk
1/2 ruas jari kunyit bakar
garam secukupnya

Pelengkap Bubur Ayam :
kedelai goreng
bawang merah goreng
cakwe iris jalus
kecap asin
seledri iris halus
kerupuk kanji

Cara Membuat Bubur Ayam :
Bubur : Didihkan air, masukkan beras, masak hingga mendidih sambil sesekali diaduk hingga beras hancur. Tambahkan daun salam dan garam, aduk. Kecilkan api, teruskan memasak sambil sesekali diaduk hingga jadi bubur.
Kuah : Didihkan air, masukkan ayam kampung, masak hingga ayam matang.
Panaskan 2 sendok makan minyak goreng, lalu tumis bumbu halus, serai, daun salam, dan lengkuas hingga harum. Angkat, masukkan ke dalam air rebusan ayam, lalu aduk. Masak terus hingga ayam cukup lunak dan bumbu meresap. Angkat ayam.
Goreng ayam (jangan terlalu kering), suwir-suwir dagingnya, sisihkan. Saring kuahnya, sisihkan.
Siapkan mangkuk saji, tuang bubur, beri ayam suwir, taburi kedelai goreng, bawang merah goreng, cakwe, kecap asin, dan beri kuah panas-panas. Tambahkan seledri iris dan kerupuk.

Minggu, 28 Maret 2010

Memulai Bisnis Laundry


Rabu, 4/11/2009 | 22:48 WIB

KOMPAS.com - Bagaimana memulai bisnis laundry? Mulai dari modalnya, perincian biaya untuk membeli alat dan fasilitas yang harus dipenuhi, hingga perkiraan pengeluaran per bulan dalam bisnis laundry dan keuntungannya. Selain itu, jika ingin ber-partner apa saja kriteria partner bisnis yang baik dan dapat dipercaya? Jika kita tak sanggup membeli alat atau fasilitas berat seperti mesin cucinya, apakah bisa menyewanya?

Di Indonesia ada beberapa jenis usaha yang masih termasuk ke dalam kategori bisnis laundry alias cuci-mencuci baju.

Bisnis laundry dari jenis yang paling sederhana dikenal dengan cuci-setrika. Bisnis ini biasanya menjamur di daerah yang banyak terdapat kos-kosan atau rumah kontrakan, dimana penyewa kos atau kontrakan tak sempat atau tak bisa melakukan cuci dan setrika baju sendiri. Biasanya ini dikerjakan oleh pembantu atau penjaga kos-kosan itu.

Sementara bentuk laundry yang canggih di Indonesia dari dulu dikenal dengan istilah binatu. Dalam bahasa modern saat ini lebih dikenal dengan istilah laundry & dry clean, dimana untuk laundry pakaian dicuci menggunakan mesin cuci. Sedangkan untuk dry clean pakaian dibersihkan dengan cairan kimia khusus yang bisa membersihkan dan merontokkan kotoran di pakaian tanpa dicuci secara biasa.

Usaha jenis ini yang dulu hanya dilakukan secara rumahan atau terdapat di hotel-hotel mewah untuk fasilitas tamunya, lalu mulai menjamur di tahun 1990-an, sejak dimulainya sistem franchise (waralaba) bisnis ini dari luar negeri.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir juga menjamur bisnis sejenis yang menggunakan waralaba lokal dan sistem agency yang bisa memberikan layanan dengan harga lebih terjangkau. Layanan, yang tadinya hanya diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas, kini bisa dinikmati masyarakat kelas menengah ke bawah.

Tak berhenti sampai di situ, kombinasi antara layanan murah dengan layanan cuci-setrika tadi berkembang lebih kreatif lagi dengan munculnya laundry kiloan. Yaitu laundry biasa, tapi dengan harga yang dibayarkan berdasarkan hitungan kilogram (bukan per potong pakaian).

Nah, bila Anda menginginkan bisnis laundry untuk kelas menengah yang bisa terjangkau seluruh lapisan, mari kita lihat persiapan apa saja yang harus dilakukan.

Pertama, modal untuk investasi yang dibutuhkan untuk lokasi penjualan (outlet tempat menerima pelanggan atau cucian), lokasi mencuci, dan peralatan berupa mesin-mesin yang dibutuhkan, serta instalasi air, listrik, dan buangan air kotor.

Lokasi tempat menerima cucian dan tempat mencuci bisa dilakukan di tempat yang sama atau terpisah, mengingat dibutuhkan instalasi air yang memerlukan ruang dan biaya yang juga besar.

Ada pun mesin yang dibutuhkan adalah: cash register (mesin hitung uang), mesin cuci baju kapasitas besar/ industri, mesin pengering baju kapasitas besar, mesin setrika press besar, dan setrika tangan. Ini minimum standar mesin yang dibutuhkan untuk memulai usaha ini. Jika jumlah cucian belum terlalu banyak, mesin press (setrika otomatis) bisa digantikan seterika tangan yang harganya jauh lebih murah.

Mesin cash register digunakan di lokasi penerima cucian untuk mencatat dan menerima transaksi keuangan. Mesin cuci digunakan untuk mencuci pakaian yang bisa dicuci dengan mesin biasa, sedangkan pakaian yang tak bisa dicuci dengan mesin cuci biasa harus dicuci secara terpisah.

Kendati Indonesia negara tropis dengan matahari yang terus bersinar, kita tak bisa mengandalkan matahari untuk mengeringkan cucian. Selain itu, diperlukan ruang jemuran yang amat besar untuk mengeringkan pakaian. Bila musim hujan tiba, akan sulit untuk mengeringkan pakaian. Maka, dibutuhkan mesin pengering cucian.

Mesin setrika (press) otomatis juga diperlukan, tapi untuk mendapatkan press-line atau garis setrika yang jelas dan tegas biasanya tukang cuci lebih menyukai setrika tangan yang berat, karena memberikan hasil yang jauh lebih maksimal, meski membutuhkan tenaga pekerja lebih banyak.

Sedangkan untuk biaya operasional sehari-hari komponennya: biaya sewa tempat deterjen dan pelunak cucian, air, bahan kimia untuk dry-clean, dan SDM (pekerja). Untuk lokasi bisa di rumah sendiri, terutama lokasi untuk tempat mencuci. Sedangkan air, bisa pakai air tanah, tapi usahakan disaring lebih dulu karena air tanah yang kotor bisa merusak pakaian.

Di beberapa laundry modern, biasanya menggunakan mesin penyaring air sebelum digunakan atau mesin daur ulang air. Beberapa laundry modern yang lebih mewah dan mahal bisa menggunakan air minum mineral untuk mencuci pakaian pelanggan. Dibutuhkan 1 orang pekerja di tempat penerima cucian, 2 orang pekerja di tempat pencucian, 1 orang untuk mencuci, dan 1 orang lagi untuk setrika pakaian.

Modal terbesar yang harus dipersiapkan adalah untuk pembelian mesin-mesin dan sewa tempat. Adapun harga mesin relatif ke jenis mesin yang ingin dibeli. Mesin cuci punya spesifikasi, tergantung dari jumlah kilogram yang ingin dicuci apakah 10 kg, 20 kg, 30 kg, dan seterusnya, begitu juga dengan mesin pengering. Untuk mesin-mesin kelas industri keluaran Jerman memiliki kualitas terbaik, tapi harganya jauh lebih mahal dibandingkan mesin keluaran Jepang.

Untuk memulai usaha jenis rumahan, Anda bisa memakai mesin rumahan, tetapi daya tampung cucinya kurang besar. Sehingga bila permintaan cucian meningkat Anda harus menggunakan beberapa mesin cuci. Berbisnis laundry mengandalkan kuantitas yang besar, karena keuntungan per potong dari sisi nominal tak terlalu besar.

Maka, pemasaran atau jumlah cucian akan amat menentukan kapan investasi Anda kembali modal serta keuntungan yang ingin diraih. Jika usaha ini ingin dilakukan dengan skala menengah memang dibutuhkan modal yang cukup besar, antara ratusan juta sampai satu miliar rupiah.

Ber-partner jadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Namun, mencari partner pun tak mudah. Harus ada kecocokan dan kesamaan visi dan misi dalam menjalankan usaha bersama. Juga harus ada hitung-hitungan tegas dan jelas dalam modal serta sistem bagi hasil. Jika tak dibuatkan dalam bentuk legal (badan hukum), harus ada perjanjian bersama yang mengikat.

Banyak sekali seluk beluk soal bisnis ini yang bisa Anda ketahui jika ingin memulainya di level menengah. Untuk informasi lebih lanjut, ada asosiasi atau perkumpulan dari pengusaha laundry (khususnya laundry menengah dan besar), dimana Anda bisa bertanya lebih spesifik dan mendetail seputar usaha ini. Salam usaha!

Konsultan: Aidil Akbar Madjid, MBA, CFE®, CFP®, RFC®, Wealth Planner™, Pakar Ekonomi Mikro & Keluarga, Chairman, IARFC (International Association of Registered Financial Consultants) Indonesia



Editor: din

Meracik Laba dari Aneka Menu Bebek


Rabu, 18/11/2009 | 15:44 WIB

KOMPAS.com - Saat ini menu bebek sudah tidak asing lagi di lidah kita. Orang sudah mampu mengolah daging bebek sehingga tidak alot dan berbau amis seperti dulu. Tak heran gerai-gerai yang menjajakan aneka jenis menu dari daging bebek terus bermunculan. Agar bisa menggaet banyak pembeli, tentu masing-masing menonjolkan keunikan olahannya.

Salah satu restoran yang mengaku berhasil menciptakan menu bebek yang diminati banyak orang adalah restoran bebek goreng Mbah Wongso asal Yogyakarta. Rumah makan ini menyajikan berbagai menu bebek. Ada bebek goreng, bebek bakar, rica-rica bebek, dan bebek penyet.

Menurut Suanto, keunggulan menu bebeknya terletak pada tekstur bebek yang garing tetapi lembut, dan tanpa bau amis. Ini berkat ramuan bumbu khas Mbah Wongso yang dipadu sambal kocek, khas racikan tangan Suanto.

Anto -panggilan akrabnya- memulai usaha ini tahun 2002 di Yogyakarta. Usaha lelaki asli Solo ini terus berkembang, hingga akhirnya ia punya empat cabang dan namanya di kenal di Solo dan sekitarnya. Anto yakin minat terhadap menu bebek akan terus meningkat. Namun ia juga masih terus giat melakukan promosi. Di antaranya lewat pameran, internet, maupun koran lokal.

Tahun 2008, Anto pun menawarkan waralaba. Sekarang dia sudah punya lima terwaralaba yang membuka gerai di Malang, Pekalongan, Kudus, dan Jakarta.

Modal Rp 102 juta
Anto menawarkan paket waralaba seharga Rp 102 juta untuk wilayah Jawa, dan seharga Rp 122 juta untuk di luar Jawa. Paket waralaba tersebut sudah mencakup fee waralaba (franchise fee) sebesar Rp 35 juta untuk lima tahun, semua peralatan produksi, pelatihan karyawan, stok bahan baku pertama, seragam karyawan, dan promosi. Paket investasi itu juga sudah termasuk renovasi tempat, namun tidak termasuk biaya sewa tempat.

Seperti kebanyakan waralaba lain, Anto juga mengharuskan terwaralaba membeli daging bebek dari pihaknya. Untuk lalapan dan bumbu lainnya, terwaralaba bisa membeli dari tempat lain.

Harga menu tergantung lokasi gerai. Untuk bebek goreng, misalnya, Anto mematok harga Rp 10.000 per porsi untuk Yogya, dan Rp 14.000 di Jakarta. Harga rica-rica bebek Rp 15.000 di Yogya, dan Rp 19.000 di Jakarta. Tetapi, Anto tidak memberlakukan harga mati. Terwaralaba bisa menentukan harga sendiri.

Menurut hitungan Anto, jika terwaralaba bisa menjual 100 porsi atau sekitar 25 ekor per hari, terwaralaba bisa meraup omzet Rp 1,5 juta per hari, atau Rp 35 juta - Rp 45 juta per bulan. Setelah dikurangi semua biaya, termasuk sewa tempat, terwaralaba akan balik modal antara 12 bulan-18 bulan.

Nani Astono, salah satu mitra Bebek Goreng Mbah Wongso yang membuka gerai di Yogyakarta sejak awal 2009, menyatakan tertarik menjadi terwaralaba karena Mbah Wongso menawarkan menu lebih variatif.

Nani bilang sejauh ini ia sudah mempunyai banyak penggemar. Dalam sehari setidaknya ia bisa menghabiskan 20 ekor bebek, dengan omzet rata-rata Rp 1 juta. Namun ia mengaku, tingkat keuntungan bersih yang ia peroleh hanya 15%. Karena itu, ia belum bisa balik modal dalam waktu dekat ini.

(Dupla Kartini/Kontan Online Weekend)

Desainer Muda, Bergerak Lewat Komunitas


Minggu, 22/11/2009 | 09:37 WIB

KOMPAS.com - Tepukan riuh dan teriakan pemberi semangat membuat udara di Fashion Tent, tempat utama pergelaran Jakarta Fashion Week 09/10 di Pacific Place yang disesaki sekitar 800 pengunjung, bertambah panas.

Selasa (17/11) sore itu, Stella Rissa, Jeffry Tan, dan Mel Ahyar menggelar rancangan mereka dalam ”3 Young and Vibrant Designers” yang disponsori Mazda.

Suasana mirip juga terjadi dalam acara Cleo Fashion Awards 2009 di panggung Koridor M, Rabu (18/11). Meskipun acara molor lebih satu jam dari jadwal, penonton semakin malam semakin ramai, sebagian besar orang muda. Mereka menunggu penampilan label Raiki, Kikichan, KLÉ, Nina Nikicio, Danjyo&Hiyoji, Majic., Geulis, dan Petite Cupcakes. Semua adalah merek yang dimiliki orang muda berusia 20-30 tahun. Penghargaan kemudian diberikan juri kepada KLÉ yang didirikan Kleting Titis Wigati pada Januari 2009.

Begitulah, para perancang muda itu memulai usaha. Membangun jejaring melalui komunitas adalah modal untuk memasarkan produk dan umumnya mereka berangkat dari kebutuhan praktis diri sendiri atau teman-teman.

”Komunitas penting banget untuk kami,” kata Dana Maulana (29) yang bersama Syarifah Liza (28) mengawaki Danjyo&Hiyoji.

”Blog juga membantu pemasaran kami,” kata Kleting, lulusan Esmod Jakarta dan Instituto Artistico dell’ Abbigliamento Marangoni, Milan, dan sempat bekerja di Miss Sixty, produk asal Inggris, di Hongkong.

Karena berkembang melalui komunitas, satu teman membicarakan dan merekomendasi suatu produk kepada teman lain. Dalam pemasaran modern, terutama menyangkut anak muda yang tak terikat lagi pada media konvensional, word of mouth diyakini lebih ampuh daripada iklan konvensional. Contohnya ketika BurgerKing Amerika awal tahun ini menawarkan burger whopper gratis kepada anggota facebook yang membuang teman facebook mereka, cara ini mendapat sambutan hangat dari anggota jejaring pertemanan dunia maya itu.

Label sekunder
Duet Cecilia Yuda (27) dan Lisa (26) memosisikan diri sebagai konsumen yang kesulitan mencari gaun cocktail atau gaun malam yang enak dipakai, cantik, dan harganya murah.

Setelah mengawali produksi tahun 2007 dengan satu penjahit, produk mereka, Benten, kini mempekerjakan 18 karyawan dan dijual di toko di rumah Lisa. Ditambah cara pemasaran online, Benten terjual hingga ke Singapura, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat.

Benten, yang diambil dari nama dewi keberuntungan Jepang yang cantik dan tangguh, menyediakan gaun untuk berbagai bentuk tubuh.

”Misalnya, untuk perempuan bertubuh pendek, tetapi ingin terlihat tinggi. Kami sengaja membuat beberapa contoh untuk tiap desain,” jelas Cecilia yang berpendidikan formal kehumasan di Melbourne, Australia. Adapun Lisa belajar financial banking. Tiap tahun Benten membuat 30 desain dan memasang harga Rp 1 juta-Rp 4 juta.

Adapun Stella Rissa, sejak awal sudah bulat ingin menjadi perancang busana siap pakai. Pergelaran di JFW adalah perkenalan lebih luas label sekundernya Stella.R yang diproduksi di Jakarta dan Bali.

Stella.R memakai konsep padu padan yang kuat. Meskipun bergaris sederhana dan tanpa batuan—tren mode saat ini—tetapi Stella.R penuh detail dengan teknik lipit dan lapis bahan tembus pandang.

”Stella.R diproduksi semimassal di Bali. Di sana lahan lebih luas karena kami mewarnai sendiri kain kami,” tutur Stella yang bermitra dengan dua rekan di Bali.

Dengan harga jual Rp 200.000-Rp 2,5 juta, Stella.R sanggup bersaing dengan produk sejenis dari negara tetangga. Tahun depan Stella.R akan dijual di toko independen Black Market di Singapura, menambah gerai saat ini di toko Gaya di Plaza Indonesia.

Tak heran bila Jeffrey dan Stella berharap kepada JFW. ”Harapan saya tidak muluk-muluk. Paling tidak bisa, seperti Sao Paulo atau Melbourne, didatangi pembeli internasional. Saya siap berproduksi kalau ada permintaan,” kata Jeffrey.

(Yulia Septhiani/Lusiana Indriasari/Ninuk M Pambudy)





Sumber: Kompas Cetak

Ide Wirausaha: Kedai Kopi


Minggu, 6/9/2009 | 11:32 WIB

KOMPAS.com - Berwirausaha dengan modal terjangkau dan untung besar hampir dipastikan banyak diminati orang. Itulah gagasan atau cita-cita yang dianut pengusaha yang akan mengajak bermitra kepada siapa pun juga.

Kepada harian Warta Kota, Iwan Agustian, pemilik waralaba Semerbak Coffee Blend, mengatakan, untuk menjalankan usaha ini modal yang dibutuhkan calon pewaralaba hanya Rp 7 juta. Biaya itu sudah termasuk konter, bahan kopi sebanyak 6 rasa untuk 120 gelas atau cup, media promosi, software keuangan, seragam, dan manual pengoperasian.

Ada yang membedakan waralaba ini dengan waralaba lainnya. Kata Iwan, selain tidak memungut biaya franchise dan biaya promosi, Semerbak Coffee Blend juga tidak memakai sistem kontrak untuk kerja sama. Pewaralaba cukup belanja kebutuhan bahan kopi di kantor pusat Semerbak Coffee Blend.

"Ini yang membedakan waralaba kami. Kami berpegang pada visi yang kami buat. Kami ingin menciptakan pengusaha baru yang ingin berwirausaha di bidang minuman. Maka dari itu tidak dipungut biaya apapun kepada mitra kami. Termasuk tidak ada kontrak fee dan tidak ada batasan bulan bahkan tahun," ujar Iwan, Selasa (1/9).

Cuma untuk mengikatnya, kata Iwan, para mitra harus belanja bahan kopi di kantor pusat. Termasuk para mitra yang berada di luar Depok atau luar Pulau Jawa, membeli bahan pembuat kopi di kantor yang berada di Jalan Nusantara, Depok itu. Untuk mitra yang berada di luar kota bahan pembuat kopi akan dikirim.

Sebelum menjadi mitra, calon mitra bisa mencicipi bahan dari pembuat kopi. Bagi yang berminat bisa membeli sampel yang berisi enam bahan kopi seharga Rp 50.000,-. Dalam paket ini terdapat bagaimana cara membuat dan menyajikan kopi blend. Harga sampel itu tidak termasuk ongkos kirim.

"Kami beri kesempatan kepada yang berminat untuk mencoba dulu sebelum memutuskan untuk bermitra dengan kami. Bila cocok, bisa diteruskan untuk bekerja sama dengan membayar uang muka 50 persen. Mengenai lokasi penjualan diserahkan langsung ke mitra. Kami tidak ikut survei. Karena yang tahu lokasi dan seluk-beluk pasarnya adalah mitra," kata Iwan.

Di sisi lain, waralaba ini juga bisa memberikan nilai lebih kepada calon mitranya. Misalnya, kata Iwan, mitra atau pewaralaba sudah menekuni usaha makanan lainnya, seperti menjual bakso atau somay, tetap bisa menjadi mitra tanpa harus menutup usaha yang sudah ditekuni.

Menu Semerbak Coffe Blend adalah iced cappuccino latte, hazelnut cappuccino latte, tiramisu cappuccino latte, caramel cappuccino latte, vanila cappuccino latte, dan chocolate cappuccino latte.

Iwan mengatakan, dalam satu hari pewaralaba yang sudah jalan rata-rata bisa menjual 200 gelas dengan harga jual dari Rp 7.000,- sampai Rp 10.000,-/gelas, karena tergantung dari lokasi dan target konsumennya.

Selain kopi ada tawaran yang lain yaitu teh gelas Goodtea. Modalnya mulai Rp 4,5 juta hingga Rp 7,5 juta dengan masa pengembalian modal dalam waktu dua hingga tiga bulan.

Goodtea menawarkan program waralaba dalam tiga paket, yakni paket A, paket B, dan tricycle booth. Praska Gilang Ramanda, Marketing Goodtea, mengatakan, paket-paket itu mempunyai harga paket yang berbeda. Paket A ditawarkan Rp 4,5 juta, paket B ditawarkan Rp 5,5 juta, dan paket tricycle booth Rp 7,5 juta.

Waralaba Goodtea juga tidak menarik biaya royalti dan fee franchise kepada mitranya. Semua keuntungan yang diraih franchisis (istilah pewaralaba Goodtea) dimiliki sepenuhnya oleh pewaralaba. Anda tertarik?



(A Sunu Dirgantoro/Warta Kota)

Semerbak Coffee Blend
Jalan Nusantara No.27A – Samping Bank Mandiri, Depok, Jawa Barat 16421
Telepon: 021 9727 4878, 0818 0809 8369
Email: info@semerbakcoffee.com

Peni S. Pramono, Ahli Usaha Kecil Berkat Usaha Kecil


Jumat, 2/10/2009 | 14:55 WIB

KOMPAS.com - Saat kuliah, Peni S. Pramono bekerja sebagai petugas perpustakaan di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris. Kesempatan itu ia gunakan untuk belajar, dengan membaca buku-buku klasik berbahasa Inggris. Beruntungnya lagi, ada guru yang berbaik hati mengajarnya cara menjadi guru bahasa Inggris yang baik.

Setelah menikah dengan Handi Pramono, Peni berhenti bekerja di luar rumah. Tetapi karena tak biasa berdiam diri, ia membuka kursus bahasa Inggris kecil. Ia menamai lembaga kursusnya International Language Training (ILT). Ketika mengelola ILT itulah ia mulai bersentuhan dengan UKM dan berbagai persoalannya. "Saya mulai kenal berbagai pengusaha kecil dan saling bertukar pengalaman. Sejalan dengan itu ILT semakin berkembang. Saya mulai mempekerjakan beberapa karyawan dan pengajar," kenang Penny.

Pentingnya laporan keuangan

Usaha Peni semakin berkembang sampai ia akhirnya membuka kursus lain, seperti komputer dan bahasa Mandarin. Belakangan ia juga mendirikan taman kanak-kanak bernama Kid's Land, dan kursus akuntansi untuk UKM. Alasan membuka kursus terakhir ini karena Peni melihat bahwa banyak usaha kecil sekarang menganggap laporan keuangan sebagai buku catatan belaka. "Jika ingin jadi kuat dan besar, suatu usaha kecil harus memperlakukan laporan keuangannya sebagai buku penuh angka yang bisa diajak bicara, bukan catatan," ujar Peni.

Buku Membuat Laporan Keuangan dengan MYOB 12 untuk Bisnis Manufaktur menjembatani ilmu akademisi dengan ilmu praktisi pengusaha di lapangan. Ternyata banyak juga mahasiswa yang menikmati buku ini. "Soalnya buku yang mereka baca di kampus menggunakan istilah-istilah yang rumit," ujar Peni. Dari pengusaha kecillah Peni mengaku banyak mendapat ilmu, "Ilmu mereka memang tanpa rumus. Tetapi hasil dari pemantauan dan pengalaman bertahun-tahun, membuat mereka dapat menarik kesimpulan dari apa yang disarikan dalam buku teks," jelas Peni.

Menurut ibu beranak dua itu, seorang pengusaha kecil yang sudah sukses kerap tergoda membuka usaha lain. Hal itu sah saja asal dilakukan dengan perhitungan matang. "Kalau kita ingin memiliki usaha baru, sebaiknya usaha lama sudah berjalan baik. Buat usaha lain yang saling melengkapi apa yang saya kerjakan dalam workshop dan seminar, yaitu sebagai pembicara," ujar Peni.

Meski banyak belajar di lapangan, bukan berarti ia tidak belajar mengenai UKM di bangku sekolah. "Ada baiknya mengambil sekolah formal kalau ada waktu. Setelah melakukan usaha selama bertahun-tahun, lakukanlah penyegaran otak dengan belajar," ujarnya. Ia sendiri sudah meraih gelar master dari kampus Prasetya Mulya, Jakarta Selatan, jurusan manajemen bisnis.

Menurut Peni, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk UKM sudah baik, hanya birokrasinya harus dikurangi. "Kredit Usaha Rakyat (UKR) sangat membantu para pengusaha kecil. Dengan adanya tambahan modal kerja, mereka mampu memproduksi lebih, yang kemudian menghasilkan keuntungan yang lebih pula."

UKM dinilai Peni sebagai usaha tahan krisis. Karena kecil, ia mudah bergerak dan berpindah haluan. Usaha besar yang sudah kokoh harus mempertimbangkan sekian ribu karyawan jika hendak mengubah haluan," jelas Peni.

Karena itu Peni ingin membuat masyarakat UKM Indonesia menjadi masyarakat yang berpengetahuan, tidak mudah dibodohi. Ia membuat ilmu ber-UKM mudah dimengerti. "Bayangkan kalau semua ilmu itu dijelaskan dengan rumus, formula, atau definisi. Sungguh membosankan dan tidak banyak orang mampu memanfaatkannya," tutur Peni.

Dalam bukunya, juga ada sebuah contoh bagaimana mendeteksi suatu kebangkrutan. "Kebangkrutan bisa dideteksi dari laporan keuangan, jauh sebelum perusahaan itu bangkrut," tutur Peni. Ia mengakui, untuk membuat sebuah konsep yang gampang diterima memang tidak mudah. Peni merasa masih perlu belajar bagaimana menjadi guru yang baik, agar ilmu yang ia bagi mudah dijelaskan.

Krisis global sekarang ini membuat UKM di Indonesia banyak yang menjadi "penambang" utang, karena kurang modal dan barang yang mereka jual banyak pesaingnya. "Apalagi mereka yang menjual barangnya ke luar negeri," jelas Peni. Untuk mencegah hal itu tidak terus terjadi, Peni menganjurkan para pengusaha UKM untuk memproduksi atau menjual barang yang unik. "Barang unik tidak pernah kehabisan pembeli. Tetapi, jangan terlalu mengandalkan pasar luar negeri, karena mereka pun sedang dilanda krisis. Mau tak mau kita mesti kembali ke pasar lokal, karena di dalam negeri sendiri pangsanya masih besar."

Intinya, "Bagaimana cara kita melihat persaingan itu sebagai tantangan dan dorongan untuk membenahi diri. Bukan menjadi maslaah yang membuat kita semakin runtuh."



(IP Rangga/Majalah Sekar)



Sumber: Majalah Sekar

Celah Bisnis Busana Ibu Menyusui




Sabtu, 23/1/2010 | 16:50 WIB

KOMPAS.com - Menyusui merupakan pengalaman personal bagi setiap ibu, baik bagi ibu pekerja maupun ibu rumah tangga. Sayangnya, belum semua tempat atau gedung di Indonesia ini yang menyediakan ruang laktasi. Akhirnya, ketika sang ibu tengah berada di ruang publik dan harus menyusui, terpaksalah ia membuat penutup payudara seadanya.

Peluang inilah yang kemudian ditangkap oleh Jovita Roland (30) untuk membuka bisnis apparel untuk ibu menyusui.

"Awalnya dimulai dari kebutuhan pribadi saat menyusui dua anak saya. Pernah juga dikirimi baju untuk ibu menyusui dari luar negeri, dan rasanya kok sangat memudahkan ibu ketika menyusui tanpa merasa risih dan praktis. Cara ini juga nyaman untuk ibu dan bayi," papar ibu dua anak yang memulai mengenalkan apparel ibu menyusui sejak 2007, kepada Kompas Female.

Dengan mengusung merek Milky Way untuk produk busana ibu menyusui ini, Jovita mulai mendapat penjualan pertamanya pada Februari 2008. Produknya mulai dari atasan (tops), terusan (dress), tank top, hingga sleeping bra.

Dengan harga bervariasi mulai dari Rp 75.000 untuk tank top, Rp 80.000 untuk bra, hingga Rp 600.000 untuk dress dengan bahan kualitas super.

Antrian panjang di dokter anak saat check up, menjadi kesempatan emas untuk membuka peluang bisnis. Saat antri, dan anak butuh ASI, model busana menyusui ini menjadi solusi jitu. Si ibu tak akan merasa risih karena desain baju sama sekali tidak menonjolkan payudara, sedangkan si bayi nyaman karena masih leluasa melihat sekelilingnya.

"Ketika teman lihat cara saya menyusui, mulailah mereka pesan," ujar Jovita, yang mengaku mulai menjadikan usaha sejak anak keduanya berusia sekitar enam bulan.

Networking menjadi modal
Pergaulan dengan teman desainer semasa kuliah membekali Jovita untuk yakin memulai bisnis fashion ini. Dengan mengajak rekanan penjahit berpengalaman, Jovita mulai membuka konveksi khusus untuk busana ibu menyusui di dekat tempat tinggalnya kawasan Lebak Bulus, Jakarta, bermodalkan Rp 20 juta.

Pemasaran dengan pola ketuk pintu, website, atau mailing list (milis) menjadi kunci andalan. Terbukti, produknya laku di pasaran. Jovita berujar, produknya kemudian bukan sekadar fashion namun menjadi kebutuhan bagi para ibu yang menginginkan kepraktisan.

"Bahkan di coffee shop, si ibu bisa leluasa menyusui bayinya, karena bahan baju yang stretch tanpa restleting atau kancing membuat ibu percaya diri karena bagian pribadinya tidak terlihat. Meski begitu, bisa tetap tampil stylish," paparnya.

Menggunakan 100 persen bahan lokal produksi Bandung, Milky Way berhasil memanjakan ibu menyusui dengan desain busana mengikuti tren terkini. Pangsa pasarnya saja sudah merambah ke berbagai kota besar Indonesia hingga Aceh.

Dalam kurun waktu dua tahun, pendapatan rata-rata per bulan mencapai Rp 25 juta kontribusi dari sistem reseller dan direct selling.

Kolaborasi para ibu
Jovita merasakan betul, ketika masa menyusui, kegiatan yang menghibur adalah jadwal berkunjung ke dokter anak. Karena saat itulah ia bisa bertemu para ibu menyusui lainnya, dan kesempatan untuk memperkenalkan produknya.

"Banyak waktu kosong saat masa hamil dan menyusui, dan tak sedikit para ibu yang menjadi canggung dengan kondisi tak menyenangkan itu. Buat yang bekerja, misalkan cuti sekian bulan tanpa kegiatan menjadi kebiasaan baru yang tak menarik. Menjadi menarik ketika bisa saling mengisi," kisahnya.

Bermula dari pengalaman itulah, Jovita membuka peluang kerjasama dengan para ibu yang berniat menambah pendapatan mengisi waktu kosong saat menyusui dengan menjual produk khusus ibu menyusui.

Mempermudah diri sendiri dan membantu orang lain menemukan kemudahan itu menjadi niatan terdalam bagi Jovita dalam menawarkan produknya. Lebih lagi jika pada akhirnya banyak ibu yang bisa mendapat keuntungan materi dari sini dengan sistem reseller.

Selain reseller, Jovita membangun sistem konsinyasi dengan sejumlah toko perlengkapan bayi, di antaranya Babyboo Shop di Kebayoran Baru.

Bagi ibu menyusui yang merasa perlu tampil gaya sekaligus memberi nyaman untuk buah hati, produk semacam ini bisa menjadi solusi.

Info kerjasama reseller:
email: info@onlinemilkyway.com
YM/Gtalk: jovitaroland

C1-10

Editor: din

Berani Berbisnis di Bidang Pendidikan


Kamis, 14/1/2010 | 17:30 WIB

KOMPAS.com - Kebutuhan belajar memang tidak hanya cukup di sekolah saja. Banyak orangtua zaman sekarang yang ingin anak mereka lebih pintar sehingga mengirim anak-anak itu belajar lagi di luar jam sekolah dengan mengikuti les. Mulai dari les pelajaran, bahasa asing, hingga kursus musik.

Nah, Anda bisa memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan keuntungan. Untuk itu, Anda perlu menyediakan tempat, tenaga pengajar, dan fasilitas layaknya sebuah sekolah kecil. Cukup banyak, ya? Namun perlu diingat, selain menguntungkan, bisnis kursus ini selalu dibutuhkan sampai kapan pun alias bisnis yang selalu ada sepanjang zaman.

Tentukan Konsumen
Sebelum memulai usaha, ada baiknya tentukan dulu jenis kursus yang ingin dijalankan dan siapa target utama konsumennya. Pilih yang sesuai dengan kesenangan Anda. Dengan begitu, Anda akan bersemangat menjalankan usaha ini.

Jika menyukai dan memiliki hobi musik, Anda bisa membuka kursus musik yang konsumennya mulai dari murid prasekolah hingga sekolah menengah atas. Namun, jika kursus bahasa asing atau pelajaran sekolah yang Anda pilih, targetkan untuk usianya mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pasalnya, pelajaran yang diajarkan di tempat kursus bisa disesuaikan dengan pelajaran di sekolah.

Lalu, bagaimana jika Anda lebih tertarik membuka kursus untuk anak-anak usia prasekolah? Tak masalah. Saat ini kursus membaca dan berhitung untuk anak-anak usia prasekolah juga sedang marak. Jika berminat, Anda bisa mencoba bisnis ini.

Bagaimana Memulai
Ada dua pilihan. Jika dana yang dimiliki besar, Anda bisa membeli bisnis kursus franchise alias waralaba yang sekarang banyak ditawarkan. Nama besar tempat kursus franchise akan membuat orang melirik tempat Anda. Namun, biaya franchise-nya pun cukup besar, mulai Rp35-500 juta (belum termasuk sewa tempat).

Namun, jika dana yang Anda miliki terbatas, membuka kursus sendiri saja. Setelah menentukan siapa target utama konsumen, selanjutnya pilih lokasi dan cari tempat yang cukup luas. Untuk lokasi, akan lebih baik jika berada di daerah perumahan atau dekat sekolah. Kedua lokasi ini memungkinkan dilirik para orangtua karena tidak membutuhkan waktu lama dan biaya lebih untuk sampai ke tempat.

Sementara luas minimal tempat yang bisa dijadikan tempat kursus adalah sekitar 120 meter persegi. Sebagai sarana pendukung, Anda bisa menyediakan kursi yang memiliki meja kecil untuk menulis. Kursi semacam ini tidak memakan tempat sehingga ruangan bisa lebih maksimal.

Untuk pegawai yang meruapakan para pengajar, Anda bisa merekrut dari kalangan mahasiswa yang masih aktif atau pun mahasiswa tingkat akhir. Biasanya para pengajar yang sudah memiliki gelar sarjana akan lebih memilih melamar pekerjaan lain. Kalaupun bersedia, mereka akan meminta honor lebih tinggi dibandingkan honor untuk para pengajar dari kalangan mahasiswa.

Kunci Sukses
Menghadapi dan mengajar anak-anak, apalagi usia prasekolah dan remaja, bukanlah hal yang mudah. Mereka cenderung suka bermain daripada belajar. Butuh kesabaran dan kharisma tersendiri. Itu sebabnya, Anda perlu menyeleksi para pengajar dengan cukup ketat.

Umumnya, anak-anak lebih suka pengajar yang bisa berkomunikasi dengan baik, bersikap lembut dan bisa mengajar dengan cara menyenangkan. Nah, pilihlah pengajar yang tak hanya suka bergaul dengan anak-anak, tapi juga memiliki ketiga kriteria tadi. Dengan demikian, anak-anak yang belajar di tempat kursus Anda akan merasa senang dan betah.

Mencari pelanggan alias siswa-siswa yang akan belajar di tempat kursus, juga bukan perkara mudah. Apalagi jika tempat kursus Anda belum punya nama besar. Selain itu, Anda juga perlu memperhitungkan bahwa beberapa orangtua akan memilih guru privat dibandingkan membawa anak mereka ke tempat kursus.

Untuk menarik pelanggan, Anda bisa memberikan bonus kepada para siswa yang sudah memilih tempat kursus Anda. Bonus itu bisa bermacam-macam, mulai dari pulpen, topi, kaus, tas, hingga diskon pembayaran. Selain itu, saat belajar, sisipkan permainan-permainan yang sesuai dengan karakteristik umur siswa agar mereka tidak lekas bosan dan selalu ingin datang ke tempat kursus.

(Erma Dwi Kusumastuti/Majalah Chic)



Editor: NF

Mengolah Pecel Lele dengan Cita Rasa Baru





Selasa, 12/1/2010 | 15:12 WIB

KOMPAS.com - Bagi penikmat pecel lele, tak sulit menemukan warung tenda terdekat dari rumah. Sepiring lele goreng dengan sambal terasi, lalapan, dan nasi hangat pun siap disantap.

Nah, bagaimana jika Anda diberi sederet menu ikan lele, namun dengan variasi rasa yang memancing lidah? Sebut saja Lele Saos Padang yang pedas segar, Lele Filet Aneka Bumbu yang praktis dinikmati untuk si kecil, atau Lele Bakar Afrika. Tergodakah untuk mencoba?

Menu semacam ini hanya bisa ditemukan di rumah makan Pecel Lele Lela, hasil racikan pengusaha muda Rangga Umara (30). Bapak dua anak penggemar pecel lele ini mengklaim bisnis pecel lele miliknya berkonsep modern. "Seluruh Indonesia pasti punya bentuk sama, pecel lele konvensional dengan warung tendanya," ujar Rangga, yang pernah mendapat kesempatan berkeliling 20 kota untuk mengamati dimana saja pecel lele gaya konvensional tersebar.

Desember 2006, hanya bermodalkan Rp 3 juta, pria yang sering diminta menjadi mentor di komunitas wirausaha, Entrepreneur University ini, membuka usaha warung lele dengan sistem setoran ke pemilik tempat. Namun usahanya tak bertahan lama, karena pengelolaan uang yang keliru, dan sistem yang dirasanya tak bisa membuat usahanya berkembang.

Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, lantas dipilihnya untuk membuka rumah makan dengan lele sebagai menu utamanya, yang diolah dengan ragam pilihan rasa. Warna hijau dan logo yang memancing mata pengguna jalan kemudian mulai mendatangkan pengunjung. Karena baginya, dengan menu sederhana, disukai siapa saja, mudah didapat, dimodifikasi dengan varian rasa dan tampilan yang lebih modern, Rangga yakin warung lelenya akan laku.

Buka cabang hitungan bulan
Hingga 2009, Rangga mampu mengelola 14 cabang Pecel Lele Lela di kawasan Jabodetabek, dengan sistem kemitraan dan total 160 karyawan. Tahun ini ia berencana membuka sistem franchise dan ekspansi ke kota besar seperti Semarang, Bali, dan Yogyakarta.

Melalui sistem Tracking Sales harian yang dibangunnya, Rangga, dibantu General Manager Operational di semua outlet, mampu membukukan pendapatan senilai Rp 750 juta per bulan dengan menarik 40.000 pelanggan dalam sebulan, dengan rata-rata belanja Rp15.000 per konsumen. Keuntungan yang dinikmatinya, 30% dari total omzet.

Jumlah lele yang dibeli juga tak tanggung-tanggung, sebanyak 100 kg lele per hari per outlet (rata-rata warung lele konvensional bermodal 5-10 kg ikan lele per hari). Setengah dari lele segar ini didapatnya dari peternakan lele hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.

"Awalnya coba-coba, sekarang menjadi terkaget-kaget dengan perkembangannya," tukas Rangga merendah.

Pecel lele dari restorannya cukup diminati orang segala kalangan, lantaran menu dan kemasan yang diberikan restorannya berbeda dari warung tenda biasa. Namun dengan menu yang cukup "mengundang" tersebut, harga yang ditawarkan tak terlalu mahal. Contohnya Lele Saos Padang, yang menjadi menu favorit pengunjung, harganya hanya Rp 12.000. Dengan model bisnis kuliner ini, pria yang lebih senang berkantor dengan berkeliling outlet-nya ini berhasil memancing penggemar baru.

"Orang yang tadinya tidak suka makan lele, jadi tertarik datang, mencicipi dan menikmati, karena menunya lebih beragam. Anak yang tak suka makan ikan bisa mencoba bentuk masakan baru lele dengan dibuatkan Lele Fillet," jelasnya.

Ekspansi melalui franchise
Seperti makna merek yang dipilihnya, "Lela", alias "Lebih Laku", Rangga membuktikan keyakinan kuat, didukung sikap pantang kalah serta semangat untuk terus belajar, membuat Pecel Lele Lela beraset ratusan juta rupiah.

Untuk perluasan bisnis, Rangga menawarkan sistem franchise dengan nilai investasi mulai dari Rp 150 juta hingga Rp 250 juta, termasuk training karyawan. Sistem ini terbagi menjadi dua tipe investasi dengan franchise fee dibandrol Rp 40 juta.

Pria yang menggaet sejumlah penghargaan atas ide kreatif bisnis lele konsep modern ini mengaku semua ide usahanya lahir dari "kecelakaan". Dari bercita-cita membangun usaha kuliner, hobi makan pecel lele, mengamati pasar dan segmen lele, baik melalui media cetak maupun datang langsung ke lapangan, belajar dan diskusi dalam komunitas penguasaha, riset sederhana, berakhir dengan nekad buka usaha.

"Terlalu banyak riset dan perhitungan, tetapi tak pernah berani memulai dan belajar dari kesalahan, tak bisa membuat bisnis berkembang," tegas Rangga.

Kebanggaannya tentu makin bertambah ketika ia diminta menjadi pembicara dalam Program Indonesia Sehat. Bisnisnya dianggap ikut mendukung kampanye makan ikan bentukan pemerintah. Sukses, dan bikin orang sehat, adakah yang lebih membahagiakan?

Info cabang terdekat dan peluang franchise:
Anto, 021-960 35645/ 0819 32150611



C1-10

Editor: din

Belajar Olah Cokelat di Chocolate School, Yuk!



Senin, 1/3/2010 | 13:46 WIB

KOMPAS.com - Cokelat. Salah satu penganan paling disukai. Betapa tidak, jika Anda perhatikan, saat ini varian makanan ringan yang disukai setidaknya memiliki rasa cokelat sebagai pilihan. Sehingga aman untuk dikatakan, bahwa cokelat sangat disukai, meski tidak bisa dikatakan oleh semua orang. Melihat hal ini, bukankah bisa dinilai bahwa cokelat merupakan salah satu "ladang" oportunitas untuk mengembangkan potensi dan mencari uang yang cukup subur?

Tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai cara pengolahan cokelat? Mengapa tidak berguru kepada ahlinya? Tulip Chocolate, di bawah bendera PT Freyabadi Indotama merupakan salah satu produsen cokelat di Indonesia yang cukup ternama baru-baru ini membuka training centre pengolahan cokelat. Training centre yang dinamakan Chocolate School ini merupakan ide dari sang pemilik, William Chuang. "Bapak yang punya ide untuk membuka sekolah ini. Ia ingin supaya masyarakat lebih banyak tahu tentang cokelat yang asli dari buah cokelat. Karena di pasaran, kebanyakan merupakan cokelat compound yang terbuat dari minyak inti kelapa sawit," terang Yohanna Indriani, Technical Service Officer PT Freyabadi Indotama kepada Kompas Female.

Menurut Yohanna, Chocolate School merupakan training center khusus pengolahan cokelat yang pertama di Jakarta. Bahkan mungkin yang pertama di Indonesia. Salah satu pengikut kelas pertama Chocolate School, Maemunnah (61), sengaja datang dari Bengkulu setelah mendengar tentang Chocolate School ini di iklan. Maemunnah bercerita, bahwa sehari-harinya ia bekerja di perkebunan, salah satu produksinya adalah biji cokelat. Ia ingin memperkaya diri mengenai cara mengolah cokelat agar ia bisa membuka toko cokelat sekembalinya ia ke Bengkulu.

Chocolate School lebih bersifat training centre, karena mereka membuka program dengan jangka harian. Ada yang program 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Pelatihan yang dilakukan di sini berkonsep "kitchen classroom", dan masing-masing siswa dibekali alat-alat dasar untuk mengolah cokelat. Dalam kelas yang berlangsung selama 7 jam, pelajaran akan dimulai dengan pembekalan teori mengenai cokelat selama setengah jam, lalu lanjut ke praktek pengolahan cokelat secara langsung di atas meja marmer, dibimbing langsung oleh chef dari Tulip Chocolate. Satu kelas akan diisi oleh maksimal 12 siswa, guna memaksimalkan pelatihan dan konsentrasi.

Untuk program 1 hari, para siswa akan mendapat pelajaran mengenai teknik-teknik dasar membuat aplikasi cokelat sederhana, mengenai tempering, melelehkan dan mencetak cokelat dengan benar, membuat hollow figure, juga ganache untuk isi cokelat. Plus, siswa akan diajarkan mengenai kelebihan chocolate couverture (cokelat dari biji cokelat) dibanding chocolate compound (cokelat buatan), serta bagaimana menyimpan dan merawat cokelat dengan benar. Untuk program 1 hari, investasi yang diperlukan sebesar Rp 1.500.000. Sementara untuk program 3 hari, kelasnya akan lebih mendalam, bahkan ada kunjungan ke pabrik dan perkebunan cokelat. Investasi untuk pelajaran selama 3 hari ini, adalah Rp 3.500.000.

"Kelas ini terbuka untuk profesional dan masyarakat awam yang ingin memulai wirausaha dengan cokelat. Untuk usia, berapa pun boleh ikut, asalkan ia sudah bisa memahami modul pembelajaran yang diberikan oleh chef," terang Yohanna. Yohanna juga menjelaskan, dengan dibukanya sekolah ini, harapannya akan makin banyak masyarakat yang mengerti tentang cokelat, baik dari segi rasa, kelebihannya, juga manfaatnya. Dari sana, mudah-mudahan akan makin tinggi pula konsumsi cokelat masyarakat Indonesia, yang merupakan penghasil cokelat ke-3 di dunia, makin tinggi pula perekonomian di dalam negeri dan perputaran roda perkebunan cokelat kita.

Mau mencoba? Kunjungi Chocolate School di Bellezza Shopping Arcade lantai 3, Jln. Arteri Soepeno no. 34, Permata Hijau, Jakarta, atau telepon di nomor (021) 7050 2668.

NAD

Editor: NF

Kursus Frozen Yogurt Cara Tradisional


Senin, 22/2/2010 | 13:55 WIB

KOMPAS.com - Frozen yogurt alias froyo, mendadak jadi primadona. Bagi Anda yang tertarik namun belum memiliki kemampuan mengolah froyo, sekarang tersedia tempat kursus khusus froyo.

Bagi Yudi Wayan Roosdian (30), keterlibatannya mengelola kursus froyo dimulai dari ketidaksengajaan. Kegiatan kursus froyo ini diawalinya sejak Januari 2009. Siapa menyangka, kursus kecil-kecilan yang digelar Yudi ternyata menarik minat banyak pihak. Pengusaha yogurt ini pun lantas melebarkan sayap usahanya dengan mengadakan kegiatan kursus yang lebih besar. Pada Juni 2009, Yudi pun menggandeng Ganesha Enterpreneur Club.

Dengan gaya marketing sederhana, yakni menyebarkan brosur-brosur ke banyak tempat, Yudi mulai menggaet banyak peserta kursus yogurt. Kebetulan, latar belakang pendidikannya dari jurusan Biologi ITB dengan spesifikasi mikrobiologi makanan. Salah satu penelitian Yudi pun tentang bakteri yogurt.

Secara tak sengaja, salah seorang peserta kursus yogurt nyeletuk agar Yudi mengajarkan teknik pembuatan froyo. “Tak lama setelah itu kami pun mencoba menggelar kursus baru, membuat froyo. Peserta pertamanya hanya enam orang,” tutur Yudi. Karena latar belakang pendidikannya juga, Yudi tak menemui banyak kesulitan untuk mengajarkan teknik membuat froyo.

“Yogurt kalau dibekukan keras seperti batu, tapi kalau disimpan di kulkas kurang awet. Jadi saya mencari cara supaya yogurt bisa diawetkan sekaligus tidak keras walaupun disimpan di freezer,” jelasnya.

Dengan menggunakan emulsifier, stabilizer, dan bereksperimen dengan kecepatan dan lama waktu mengaduk, Yudi menemukan formulanya. “Waktu itu akhir 2008, froyo sudah mulai bermunculan tapi saya belum menggunakan istilah frozen yogurt. Saya menyebutnya es krim yogurt saja”.

Awalnya ia sempat ragu untuk mengajarkan cara membuat frozen yogurt. “Hasilnya memang tidak seperti froyo pabrikan yang banyak dijual di mal karena ini memakai cara tradisional. Tapi kualitasnya mendekati, kok. Dan setelah murid-murid saya mencoba hasilnya, mereka bilang rasanya enak,” papar Yudi.

Modal tiga juta
Karena metode yang diajarkan sangat sederhana, Yudi pun tak membandrol harga yang tinggi untuk program kursusnya. Untuk sekali pertemuan, peserta hanya perlu membayar Rp 500 ribu, yang sudah termasuk fasilitas peralatan, bibit yogurt, emulsifier, essence, dan konsultasi gratis selama tiga bulan pasca pelatihan. “Kalau sudah ikut kursus membuat yogurt sebelumnya, hanya perlu membayar Rp 300, atau paket kursus yogurt dan frozen yogurt totalnya Rp 600 ribu”.

Untuk dapat menguasai teknik dasar membuat froyo secara sederhana ini, peserta pun hanya perlu mengikuti sekali pelatihan. Tahap berikutnya hanya perlu berkonsultasi saja. Peralatan yang digunakan Yudi pun adalah peralatan membuat kue sederhana yang terdapat di dapur seperti panci, mixer, lemari es, toples plastik, termometer, kompor, dan inkubator dari bahan stereofoam yang bisa diganti dengan termos nasi.

Karena peralatan yang digunakan tergolong sederhana, menurut Yudi, berbisnis froyo bisa menjadi bisnis yang menguntungkan, mudah, dan nyaris tak beresiko. Yudi memaparkan, modal untuk memulai bisnis rumahan froyo tak lebih dari Rp 5 juta. “Itu sudah termasuk lemari es. Saya sarankan, (beli) lemari es tersendiri agar tidak tercampur dengan sayur-sayuran,” ujarnya. Jumlah itu pun bisa berkurang kalau peralatan yang dibutuhkan sudah tersedia.

Dari keenam murid Yudi, tiga di antaranya sudah memulai bisnis froyo di Bandung, Cimahi, dan Jakarta. “Memang baru home industry, misalnya, froyo dikemas dalam cup dan dipasarkan ke sekolah atau kampus dengan harga lebih murah ketimbang froyo yang dijual di mal”.

Jika tertarik, Yudi menyarankan untuk memulai dengan modal tak lebih dari Rp 3 juta, “Kalau sudah bisa memproduksi hingga puluhan liter baru modal ditambah lagi”.

Satu jam dijamin mahir
Untuk mempermudah peserta pelatihan, Yudi juga menyediakan sistem kursus privat. Sejauh ini, Yudi sudah memberikan kursus privat kepada lima kelompok yang masing-masing terdiri atas dua hingga tiga orang. Yudi menawarkan harga khusus untuk kursus privat. Sayangnya, kursus privat terbatas bagi peserta yang berdomisili di Bandung, Cimahi, Lembang, dan Jakarta.

Untuk memenuhi permintaan dari luar daerah, Yudi menciptakan terobosan baru yaitu kursus melalui DVD. Dalam dua keping DVD berdurasi total satu jam tersebut, Yudi mengajarkan langkah demi langkah membuat froyo yang dibagi ke dalam beberapa segmen. “Dengan menonton DVD, rasanya sama dengan mendapat pelatihan secara langsung,” jaminnya.

Selain cara pembuatan froyo, dalam DVD yang dipasarkan lewat situs www.rajayoghurt.com itu, Yudi juga membagi trik-trik rahasia dan sederhana dalam membuat froyo hingga pengemasannya. “Ada trik melembutkan froyo dengan cara mudah, sampai trik menutup kemasan tanpa menggunakan mesin pengemas,” kata Yudi.

Tak hanya trik, bonus bibit yogurt yang telah dikeringkan dan suvenir sudah termasuk dalam paket DVD seharga Rp 234 ribu itu. “Ini masih harga promosi, mungkin pertengahan tahun harganya sudah normal, yaitu Rp 369 ribu,” ujarnya. Sebelum diluncurkan 20 Januari lalu, Yudi bahkan sudah menerima setidaknya ratusan pesanan yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia.

Yudi pun optimis tren froyo ini akan berumur panjang. Yang terpenting adalah kreativitas dalam menyajikannya. “Memang sejauh ini orang hanya bermain di topping, tapi bukan berarti nantinya akan ada potongan buah yang disiram dengan froyo, puding froyo, atau bahkan froyo float”. Yudi menambahkan, apapun bentuk penyajian es krim dapat juga diadaptasi ke dalam penyajian froyo. Intinya, tidak bosan-bosan untuk menciptakan inovasi, supaya froyo tak jadi tren sesaat. Tertarik?

Informasi:
Yudi Wayan Roosdian
Sekretariat IA-ITB Jawa Barat, Jalan Cimanuk no 5A Bandung

Telp: 0813 9440 7824, 022-76067887
www.rajayoghurt.com

(Sita Dewi/Tabloid Nova)



Editor: din

Trashion, Limbah Plastik Bernilai Ekonomi Tinggi





Kamis, 25/2/2010 | 12:09 WIB

KOMPAS.com - Sampah plastik rumah tangga jika dikumpulkan dalam sebulan bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan kilo. Padahal plastik butuh ribuan tahun untuk terurai jika sudah sampai di TPA. Bayangkan pengaruhnya bagi lingkungan. Tidak heran jika kampanye mengurangi plastik semakin gencar belakangan ini. Pilihan lain jika ingin menyelamatkan bumi adalah dengan mendaur ulang.

Cara pandang kreatif terhadap sampah sudah dimiliki ibu tiga anak, Heryanti Simarmata (40), sejak 2007. Ibu rumah tangga yang akrab disapa Yanti ini mengaku bakat alami dan kegemarannya dengan seni keterampilan membuatnya terpancing berkarya.

Karya sederhana dari sampah plastik rumah tangga membuka peluang besar bagi dirinya dan lingkungan. Yanti semakin dikenal banyak komunitas, perusahaan, lokal maupun internasional, sejak memunculkan ide mengubah sampah menjadi benda layak guna dengan label Trashion.

"Awalnya produk daur ulang sampah plastik ini menjadi juara I lomba pengolahan limbah kering program Jakarta Green & Clean tahun 2008. Sejak itu orang banyak kenal dan pesanan mulai berdatangan," papar Yanti kepada Kompas Female.

Yanti melibatkan ibu rumah tangga di kawasan tempat tinggalnya untuk mengolah limbah plastik ini. Misi awalnya adalah berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan. Kolaborasi kreativitas dan kemandirian usaha membesarkan ide Yanti menjadi tak sekadar aktivitas lingkungan.

Dengan tetap melibatkan komunitas yang kebanyakan kaum ibu, Yanti mengembangkan keterampilan daur ulang plastik hingga menjadi industri rumahan sekaligus membuka lapangan kerja. Bantuan modal dari Yayasan Unilever Indonesia berupa sebuah mesin jahit membantu usaha Yanti. Kini, Yanti punya lima mesin jahit di workshop-nya, 10 karyawan, dan jaringan komunitas penggiat daur ulang bermerek Trashion di sejumlah titik di Jakarta.

Plastik sejumlah 5 kilogram menjadi titik awalnya. Saat itu, Yanti harus mengumpulkan plastik dari limbah rumah tangga. Plastik tersebut disortir lebih dulu. Hanya yang masih layak dipakai yang diolahnya. Namun sekarang Trashion sudah mulai terbantu seiring meningkatnya kesadaran masyarakat mengumpulkan limbah plastik.

"Ibu rumah tangga mulai terbangun kesadarannya untuk mengumpulkan limbah plastik, mencuci, dan menjualnya sebagai bahan baku produksi," kata Yanti, yang menghargai bahan baku limbah plastik senilai Rp 3.500 - Rp 5.000 per kilogram.

Tak hanya ibu rumah tangga, pemulung yang semula tak peduli dengan limbah plastik, akhirnya mendapat peluang rejeki baru.

"Plastik dihargai Rp 300 per kilogram di lapak. Membayar limbah plastik dengan harga tinggi membuat pemulung lebih termotivasi mengumpulkan plastik," katanya.

Produksi Trashion terus meningkat setiap tahunnya. Setiap bulan permintaan barang mencapai lebih dari 500 item. Bahkan sejak awal 2010 ini, Hypermart memesan 3.000 produk sebagai tahap pertama kerjasamanya dengan Trashion. Saat ditemui Kompas Female, Yanti juga turun tangan menyiapkan pesanan sejumlah 400 buah untuk dikirim ke Bali dalam acara seminar.

Untuk memenuhi permintaan yang semakin menggunung, Yanti konsisten pada konsep awal, memberdayakan komunitas ibu rumah tangga dan pemulung terkait bahan baku plastik. Untuk proses produksi massal, selain merekrut kaum ibu, Yanti membagi porsi tugas setiap karyawannya. Mulai dari tahap pencucian dengan desinfektan, pengeringan dengan menjemur di bawah sinar matahari, pemotongan (mengambil gambar), menjahit potongan gambar (panel), membuat pola, dan finishing.

Hasil akhir dari produksi ini adalah ragam produk layak guna bernilai estetika dan ramah lingkungan. Bentuknya berupa tas laptop, tas pinggang, tas belanja, tas make-up, tas lunch-box, backpack, sandal, dompet, casing ponsel, dompet koin, travel bag, payung, dan lainnya. Yanti juga menerima pesanan untuk wadah penyimpanan atau produk lain seperti karpet misalnya.

Soal harga sangat bervariasi, dari Rp 15.000 untuk dompet koin, hingga Rp 400.000 untuk travel bag. Harga sangat bergantung ukuran dan tingkat kesulitan desain dan modelnya.

Trashion mampu menarik pasar dan berkontribusi hingga Rp 10 juta per bulan bagi dapur produksi Yanti. Hasil ini tak hanya dinikmati Yanti, namun juga para ibu yang turut dilibatkan dalam pengembangan produk Trashion.

Produsen consumer goods yang memiliki kepedulian lingkungan, Unilever (Yayasan Unilever Indonesia), pernah memberikan kesempatan kepada Yanti untuk mengikuti pelatihan terkait quality control. Misinya, agar produk Trashion punya daya saing tinggi, gaya, dan berkarakter. Benar saja, karena Trashion mendapati pengakuan internasional sebagai bagian keberhasilan program Unilever. Sejak itu pula, Trashion mendapati pesanan dari beberapa negara seperti Singapura, India, dan Inggris.

Informasi produk:
Workshop: Jl Masjid Al-Falah RT 006 RW 02 No 9, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Telp: 021-781 2315 /021 918 52448
Email: yanti.ardes@gmail.com
Website: www.ardescolection.com



C1-10

Editor: din

Memberi Privasi Lewat Celemek Menyusui




Sabtu, 13/2/2010 | 16:54 WIB

KOMPAS.com - Konsep Amati Tiru Modifikasi (ATM) dalam berbisnis terbukti berhasil membawa peruntungan bagi banyak pengusaha. Begitu pun yang terjadi pada Mamita, merek nursing apron (celemek menyusui). Mamita diambil dari bahasa Spanyol yang berarti little mama, atau sebut saja ibu muda.

Lala Sirat (31) bersama adiknya, Sasha Sirat (24), membangun bisnis nursing apron sejak 2007, diawali dengan keinginan berbagi rasa nyaman atas privasi ibu menyusui.

Pengalaman Lala saat memberikan ASI eksklusif dengan menggunakan nursing apron menjadi ide bisnis menarik. Saat itu belum ada produsen lokal yang menyediakan produk semacam ini. Sekalipun sejumlah ibu menggunakannya, celemek menyusui itu didapatkan dari luar negeri. Menyediakan produk lokal tak jadi satu-satunya alasan bagi Lala. Perbedaan iklim di Amerika (negeri produsen nursing apron), menjadi alasan lain berkembangnya bisnis ini.

"Nursing apron dari luar berbahan lebih tebal karena menyesuaikan suhu di sana yang lebih dingin. Jika produk impor tersebut digunakan di Indonesia menjadi kurang nyaman untuk bayi," papar Lala kepada Kompas Female.

Iklim tropis di Indonesia mendatangkan peruntungan bagi Lala. Sejak 2007, bermodalkan Rp 1 juta Lala mulai memproduksi celemek menyusui dengan bahan lokal. Bahan katun lebih banyak digunakan untuk memberikan rasa nyaman untuk si bayi.

"Awalnya untuk penggunaan pribadi. Lantaran sering digunakan saat kumpul bersama teman, akhirnya satu persatu mulai banyak yang pesan," kisah Lala.

Bermula dari pesanan pertemanan inilah, Mamita berkembang menjadi brand celemek menyusui asli Indonesia dengan penjualan sebanyak 50 - 100 produk per bulannya. Saat ini Mamita memiliki tiga jenis produk yakni nursing apron, sling (selendang gendongan), dan BIB (celemek bayi).

Konsep bisnis ATM lebih jauh berkembang menjadi pengembangan produk yang saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan segmen perlengkapan bayi.

Kreativitas Lala yang memiliki latar belakang fashion stylist pun mendukung penuh bisnisnya. Variasi motif dan warna terus dikembangkan demi memenuhi sebanyak mungkin keinginan pelanggan. Jika bicara desain, mungkin tak banyak pengembangan. Karena produk sarat manfaat ini memang cukup sederhana.

"Untuk apron ada dua model, yakni jaring buka dan jaring tutup. Mamita memberikan pilihan untuk ibu muda maupun yang berpengalaman. Biasanya ibu muda atau pemula lebih menyukai jaring tutup karena masih belum terbiasa menggunakannya," jelas Lala.

Modifikasi sistem penjualan
Jika Lala mendorong penjualan dengan berinovasi pada ragam motif dan warna, Sasha fokus pada pemasaran produk dengan mencermati kebutuhan pasar.

Pengusaha muda ini mengaku menikmati berbisnis dengan segmen pasar yang potensial. Apalagi, menjual celemek menyusui sama artinya dengan mendukung program ASI eksklusif yang tentunya positif untuk tumbuh kembang anak.

Media internet menjadi sarana pemasaran andalan bagi Mamita. Selain itu ia juga menjualnya di toko bayi di Jakarta dengan sistem konsinyasi dan melalui pameran atau bazar di berbagai event, termasuk kegiatan AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia).

Menurut Sasha, penjualan melalui toko bayi bisa mencapai 20 items per bulan. Sedangkan dalam bazar, penjualan lebih tinggi bisa mencapai 70 items hanya dalam tiga hari.

Untuk memenuhi permintaan ini, Mamita bersinergi dengan konveksi dalam proses produksinya. Tentu saja kontrol produksi ada dalam pengawasan Lala yang lebih fokus pada quality control.

Dengan kualitas teruji, tak butuh waktu lama untuk mengembangkan produk Mamita. Enam bulan sejak pertama kali mengenalkan produknya, celemek menyusui Mamita tersedia dalam kemasan cantik untuk berbagai kebutuhan, sebagai kado misalnya. Belakangan, tawaran dari department store di Jakarta yang ingin menjalin kerjasama mulai bermunculan.

Sistem reseller juga menjadi cara berjualan lainnya. Syaratnya tentu saja kepercayaan, lalu calon reseller harus mengisi formulir, pesanan minimal 1 lusin per produk, uang muka 50 persen, dan sisa uang dibayarkan saat barang siap dikirimkan.

Produk simple multifungsi
Pangsa pasar yang terus meluas tak lepas dari fungsi produk yang multiguna. Celemek menyusui tak sekadar untuk menutupi area pribadi sang bunda saat menyusui. Tak juga sekadar melindungi bayi dari gangguan luar saat asik menikmati asupan gizi paling alami.

"Apron bisa berfungsi sebagai alas atau selimut. Dan dari segi kegunaan tak hanya menutupi area privasi ibu saat menyusui namun juga saat ibu bekerja ingin memompa ASI dengan cara lebih higienis," papar Lala.

Biasanya ibu menyusui, terutama yang bekerja, terkendala saat ingin memompa ASI. Tak semua kantor atau mal menyediakan nursing room. Toilet yang sebenarnya tidak higienis menjadi satu-satunya pilihan. Padahal hanya dengan celemek, ibu bisa lebih leluasa memompa ASI. Menurut Lala, sang bayi pun menyenangi celemek ini, lantaran ia tahu waktunya menyusu sudah tiba, kegiatan yang paling disukainya.

Untuk produk multifungsi ini Mamita memasang banderol Rp 85.000, untuk sling mulai Rp 100.000, dan celemek bayi Rp 40.000.

Info produk:
http://mamita4info.multiply.com

C1-10

Editor: din

Popok Kain, Bisnis Plus Investasi Kesehatan





Rabu, 10/2/2010 | 23:08 WIB

KOMPAS.com - Pengalaman personal sebagai pasangan muda dalam mengurus bayi menjadi titik awal membangun bisnis popok bayi. Mengetahui borosnya popok sekali pakai atau disposable diaper (Dispo), apalagi setelah kenal bahayanya, Maria Cynthia dan Christopher Ivan memilih popok kain, dan kemudian berinisiatif memperkenalkannya di pasar lokal.

Maklum, popok kain belum populer di Indonesia, dan untuk mendapatkannya di toko resmi harus menyeberang ke negeri tetangga. Harganya yang diklaim mahal pun menjadi alasan, hingga akhirnya banyak orangtua tetap bertahan dengan dispo.

Faktor kesehatan menjadi fokus utama Christopher, sehingga pilihan pun dijatuhkan kepada popok kain untuk perlengkapan bayinya. Selain juga hitung-hitungan pengeluaran yang nyatanya lebih efisien dengan popok kain.

"Awalnya kita gunakan dispo hingga tiga bulan. Setelah dihitung lagi, dalam sebulan bisa menghabiskan Rp 500.000 hanya untuk dispo. Karena dalam sehari pemakaian popok bisa sampai lima, atau jika kulit sensitif setiap dua jam popok harus diganti," papar Christopher, yang akrab disapa Chris, kepada Kompas Female.

Dengan pertimbangan ini jugalah, akhirnya pasangan muda ini mengganti dispo dengan popok kain. Meski investasi awal cukup tinggi, namun manfaatnya tak kalah berharga.

Riset menjadi langkah awal Chris, yang akhirnya memilih popok kain untuk penggunaan pribadi. Menurutnya, resiko jarak pendek penggunaan dispo adalah iritasi kulit karena uap panas yang disebabkan bahan kimia dan pemutih yang terkandung dalam dispo. Sirkulasi udara di area kelamin yang satu derajat lebih tinggi suhunya (dengan dispo) juga lama-kelamaan bisa mempengaruhi produksi sperma. Bahan pada dispo yang mirip pembalut perempuan pun bisa menjadi salah satu penyebab kanker serviks pada perempuan. Informasi ini didapatnya dari berbagai sumber, termasuk sebuah penelitian di Jerman dan penerangan dari Yayasan Kanker
Indonesia.

Kumpulan pengetahuan inilah yang kemudian memancing semangat pasangan ini untuk memulai bisnis popok kain.

"Misinya tak sekadar berjualan, namun juga menyebarkan informasi ke sebanyak mungkin orangtua," kata Christopher.

Peluang bisnis popok kain memang masih potensial di Indonesia. Belum ada distributor yang memasarkan produk impor asli Amerika di sini. Maklum, produsen popok kain yang dikenal pasar saat ini adalah Rump.a.rooz buatan Amerika. Toko ini telah memiliki 400 toko di seluruh dunia, dimana 40 di antaranya didistribusikan oleh pasangan ini di Jakarta.

Celah ini, juga didasari niatan menularkan pengalaman pribadi ke orang lain akhirnya membawa Chris dan Cynthia dalam perputaran bisnis yang semakin menghasilkan dengan bisnis online dan sistem konsinyasi di sejumlah toko bayi. Dengan membuka sistem reseller, bisnis ini berkembang pesat dalam kurun waktu kurang dari setahun.

Bisnis popok kain cukup banyak menarik pasar, penjualan rata-rata dalam sebulan bisa mencapai 150 popok kain. Penghasilan ini merupakan hasil kontribusi 20 persen dari sistem konsinyasi di toko bayi yang tersebar tak hanya di Jakarta, tetapi juga di Bandung, Surabaya, Malang, Yogyakarta, hingga Medan. Penjualan dengan sistem online berkontribusi 80 persen dari total pendapatan. Pelayanan yang interaktif lewat internet juga memanjakan pelanggan. Mulai dari informasi kesehatan hingga cara pakai dan cara cuci popok kain.

Niatan awal untuk berbagi informasi tentang kesehatan, turut menunjang perkembangan bisnis ini. Chris mengaku seringkali diundang oleh rumah sakit untuk mempresentasikan produknya dari sisi kesehatan. Diakui cara ini mampu mendorong penjualan produknya. Yang lebih memuaskan lagi bagi Chris adalah semakin banyak orangtua terinformasikan pentingnya menjaga kesehatan bayi, termasuk urusan popok.

Hitungan penghematan biaya popok bayi

Jika asumsinya seorang bayi menggunakan lima dispo per hari sejak lahir hingga usia dua tahun, ia membutuhkan 3.650 popok. Dengan harga sebuah popok sekitar Rp 2.500 per buah, dibutuhkan biaya Rp 9 jutaan untuk pemakaian dua tahun.

Bandingkan dengan menyediakan lima popok kain sehari, dengan harga satu popok mulai dari Rp 275.000 maka rata-rata pengeluaran untuk dua tahun sekitar Rp 1,5 juta. Ada penghematan sekitar Rp 7 jutaan untuk penggunaan popok bayi selama dua tahun.

Karakter popok kain
* Ukuran
Satu buah popok kain bisa digunakan untuk segala usia bayi, dengan ukuran ex.small, small, medium, dan large. Artinya hingga usia bayi Anda dua tahun (asalkan tidak overweight), popok kain bisa disesuaikan pemakaiannya. Kancing-kancing pada popok yang mirip celana bahan ini berfungsi sebagai pengatur ukuran sesuai usia anak.

* Bahan
Jika dispo menggunakan bahan yang mengandung plastik dan bahan kimia, popok kain menggunakan bahan hypo-allergenic yang mencegah iritasi, bahan penyerap terbuat dari serat mikro, bebas bahan kimia.

* Ramah lingkungan
Popok kain bisa dicuci lalu dikeringkan, dan dipakai kembali. Jadi, tidak meninggalkan sampah, terutama sampah plastik yang membutuhkan waktu 500 tahun untuk terurai.

* Fleksibel
Terdiri atas dua bagian, outer (bagian luar) yang tampak seperti celana bahan, dan insert (bagian penyerap, bentuknya seperti pembalut, RED). Ukuran insert bisa disesuaikan dengan usia dan kebutuhan bayi. Satu insert bisa dibentuk ukuran besar dan sedang. Bayi baru lahir juga memiliki insert khusus, disesuaikan dengan kebutuhan. Bahkan insert bisa di-setting seusai jenis kelamin bayi.

Rump.a.rooz Authorized distributor & retailer:

Green Choice Indonesia [greenchoice.indonesia@gmail.com]


C1-10

Editor: din

Brownies Panggang dengan Cita Rasa Gurih




Kamis, 25/3/2010 | 15:55 WIB

KOMPAS.com - Bisnis kue dengan resep khas olahan rumahan bisa dilakukan siapa saja. Namun tak semua usaha kue bisa populer, bahkan sukses menjaring pelanggan setia tanpa biaya promosi tinggi. Maulin's Brownies membuktikan, cita rasa yang konsisten dan kualitas terjaga lebih dari 10 tahun berhasil melambungkan namanya.

Sejak 1998, brownies panggang dengan resep khas dari Semarang ini mulai diproduksi di Bekasi. Adi Sunyoto, pemilik Maulin's Brownies, mengaku awalnya menjual kuenya kepada rekanan di kantor. Jika dulu ia hanya membuat 4 kotak brownies, kini produksinya mencapai 1.000 kardus kue per harinya.

"Sejak krisis moneter 1998, beragam usaha dilakukan hingga akhirnya kakak tertua di Semarang mengusulkan usaha kue yang memang sudah dijalaninya di sana. Ide usaha ini mulai dipraktekkan di rumah, melihat saat itu di Jakarta sendiri memang belum ada usaha brownies," papar Adi, saat ditemui Kompas Female di Bekasi, Rabu (24/3/2010) lalu.

Bermodalkan Rp 100.000 untuk membeli bahan baku seperti tepung, gula, cokelat, dan dengan alat masak rumahan ala kadarnya, brownies panggang mulai diproduksi dalam tahap uji coba.

"Perlu waktu 3 hari untuk menemukan takaran brownies panggang yang pas. Sebelum dikenalkan kepada orang lain, kami harus yakin bahwa kue ini enak dan menjual," ujar Adi.

Adi saat itu dibantu sang istri, Nur Arifiasih, untuk menjual brownies di kantornya, sebuah bank di Jakarta. Kerjasama suami istri dalam membangun bisnis ini mulai membuahkan hasil. Brownies bermerek Maulin, yang diambil dari nama anak perempuan mereka satu-satunya, berhasil menarik minat meski masih perlu pengembangan produk.

"Selera di Jakarta beda dengan selera Semarang yang cenderung manis. Permintaan pasar umumnya menginginkan brownies dengan rasa lebih gurih dan tak telalu manis," kata Adi, yang mengaku bahwa bersikap terbuka dengan masukan dari pembeli membuat usaha kuenya semakin berkembang.

Kebutuhan pasar menjadi ukuran utama bisnis brownies dalam mencari takaran yang tepat untuk cita rasanya. Resep asli dari Semarang disesuaikan dengan karakter pasar berdasarkan lokasi. Cara memasak, termasuk ukuran panas api dalam panggangan, juga menentukan cita rasa kue khas Maulin.

Dengan cara ini, Maulin's Brownies menarik semakin banyak penggemar. Pesanan bertambah dengan rata-rata hingga 50 kardus setiap hari selama dua tahun pengembangan produk. Kapasitas produksi rumahan yang terus bertambah membuat pemilik usaha menyewa toko. Tempat produksi dipindahkan ke tempat yang lebih luas, dengan penambahan empat koki dan 10 karyawan.

"Manajemen dan keuangan lebih teratur karena produksi sudah mulai berkembang sejak 2000," ujar Adi.

Modifikasi produk setiap tahun
Selain mengembangkan jumlah produksi dan karyawannya, Adi juga terus berusaha meningkatkan kualitas dan variasi produknya. Ia bahkan tak sungkan membiayai sekolah kokinya untuk belajar lebih dalam tentang pembuatan kue.

"Koki sebagai kunci bagian produksi perlu belajar lebih banyak untuk pengembangan produk. Mereka difasilitasi untuk belajar di sentra kue seperti Bandung atau Yogyakarta," kata Adi.

Bekal ilmu inilah yang kemudian membuat Maulin's Brownies memiliki variasi produk yang tak kalah populer. Pengembangan produk terus dilakukan sejak 2005, dengan mengadaptasi dan modifikasi produk sesuai potensi pasar Maulin.

Brownies Kukus Maulin misalkan, produk ini dikembangkan saat brownies kukus sedang dalam masa jaya pada 2005. Bandung merupakan pusat produsen brownies kukus dimana Maulin mempelajari proses pembuatannya, untuk kemudian memproduksi sendiri sesuai selera pasarnya.

Pengembangan kue lain di Maulin di antaranya Lapis Surabaya, Pisang Molen, Bika Ambon, Roll Cake, Black Forrest, bahkan brownies dengan varian rasa buah. Semua jenis kue ini dimasak tanpa pengawet. Untuk brownies panggang daya tahannya bisa mencapai seminggu, sedangkan brownies kukus tiga hari. Kue produksi Maulin ditawarkan dengan harga mulai Rp 10.000 - Rp 36.000, dan mulai Rp 55.000 - Rp 200.000 untuk Black Forrest.

Variasi kue ini dijual di lima toko cabang di kawasan Bekasi dan Jakarta Timur, termasuk toko dari 15 mitra kerja. Total omzet Maulin's Brownies mencapai lebih dari Rp 300 juta per bulan.

Diberi asuransi
Merekrut tenaga ahli dalam produksi, marketing, komputerisasi keuangan, dan bekerja sesuai porsi, menjadi kunci keberhasilan lain usaha rumahan ini. Saat ini total koki berjumlah lima orang dengan total karyawan 40 orang. Tenaga ahli pun diapresiasi tinggi. Setiap karyawan diberi asuransi kecelakaan kerja dan kesehatan. Bahkan beberapa rumah di kawasan pemukiman yang menjadi tempat produksi pun mendapat asuransi.

"Produksi kue seperti ini jelas punya risiko. Asuransi menjadi proteksi yang harus diberikan untuk perlindungan. Ke depan memang harus segera pindah lokasi produksinya," papar Adi, yang berencana membangun rumah produksi tak jauh dari toko yang sudah menjadi hak milik tersebut.

Brownies Maulin menjadi contoh bagaimana kualitas mampu menjual produk tanpa perlu promosi tinggi. Kebanyakan pembeli bahkan tak segan datang ke toko utama di Taman Narogong Indah, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Bekasi.

"Toko utama memberikan kontribusi 60 persen dari penjualan. Meskipun tanpa papan nama dan promosi, orang tetap datang," kata Adi.

Layanan antar untuk pemesanan minimal 15 kardus juga tersedia, tanpa dipungut biaya. Pelayanan memang menjadi nilai jual sekaligus promosi gratis yang menyenangkan pelanggan.

Maulin's Brownies, 021-8228616/021-7882044

C1-10

Editor: din

Batik Paiu Pekalongan Meraih Pasar Jakarta




Rabu, 3/3/2010 | 12:59 WIB

KOMPAS.com - Peresmian Pusat Batik Nusantara di Thamrin City Jakarta membawa angin segar bagi pengrajin batik dari Pekalongan dan kota lain di pulau Jawa. Pengrajin dan pengusaha batik mendapatkan akses pasar yang lebih luas. Tak sedikit pengusaha yang menggerakkan kembali bisnis batik yang mulai lesu di daerah asalnya, termasuk batik berlabel Paiu Cantika asli dari Pekalongan.

Umi Hani (46) bersama anak perempuannya, Ayun (22), mengambil peluang ini dengan semakin menggiatkan produksi workshop mereka di Pekalongan. Hasilnya dikirim ke Jakarta, karena pasar di ibukota ternyata jauh lebih menguntungkan.

"Eyang (nenek) adalah pengrajin batik tulis di Pekalongan. Usaha batik grosiran di Pekalongan memiliki workshop namun pasarnya sangat kecil dan penghasilan minim sekali. Maksimal Rp 500.000 per hari, dan ini pun tidak stabil," papar Ayun kepada Kompas Female.

Inisiasi dari Departemen Perindustrian Pekalongan membawa sejumlah pengrajin batik daerah ke Jakarta membuka peluang untuk pengusaha seperti Umi dan Ayun. Batik Paiu mendapat kesempatan pameran selama dua bulan, tanpa dipungut biaya. Akses pasar ini dinilai Ayun sangat membantu penjualan batik asli Pekalongan.

Menurut Ayun, rata-rata omzet pada hari kerja (Senin hingga Kamis) bisa mencapai Rp 3 juta. Sedangkan menjelang akhir pekan (Jumat hingga Minggu), pendapatan Paiu bisa mencapai Rp 5 juta.

Paiu, yang diambil dari bahasa Jawa yang artinya laku, memang lebih laku di Jakarta. Tak lain karena pusat belanja di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini memang lebih banyak didatangi pengunjung yang berasal dari berbagai kalangan.

Belum lagi, gerakan nasional penggunaan batik sebagai busana sehari-hari semakin gencar ditularkan. Artinya, kesempatan untuk mempromosikan produk batik semakin luas. Akses pasar lebih terbuka bagi para pengrajin, dan semakin banyak pilihan produk dengan harga beragam untuk pelanggan.

Bicara soal produk, Ayun mengatakan batik Paiu tersedia dengan ragam pilihan jenis batik, desain, serta model. Kompas Female mendapati kios batik Paiu memajang ragam model busana berbahan dasar batik, yang kebanyakan jenis cap dan printing. Modelnya divariasikan dengan kebutuhan pasar, seperti atasan, terusan, dan blazer dengan desain yang feminin. Kemeja pria dan wanita juga tersedia dengan ragam pilihan corak dan warna.

Ayun mengaku kualitas produk batik Paiu masih sangat terkontrol, lantaran sang nenek masih mengontrol produksi di workshop mereka di Pekalongan. Sekitar 15 orang pengrajin batik di kampung halamannya juga masih aktif memproduksi. Terlebih setelah merasakan langsung bagaimana pangsa pasar Jakarta membawa peruntungan yang lebih besar.

Sejak November 2009, Ayun berkisah, Paiu lebih fokus memasarkan produknya di Jakarta. Dengan uang sewa kios yang cukup murah sebagai bagian promosi Pusat Batik Nusantara, Paiu menyewa dua kios sekaligus senilai total Rp 10 juta.

Kemudahan yang diperoleh pengrajin di pusat belanja batik ini memang mendukung penjualan batik Paiu, papar Ayun.

"Selain sewa yang cukup murah, jumlah barang juga tidak dibatasi. Soal kualitas, pihak pengelola memang membatasi batik printing, namun masih diperbolehkan asalkan layak jual," kata Ayun.

Menurut Ayun, prospek busana batik semakin bagus ke depannya. Tak sedikit pengunjung yang awalnya tidak menyukai batik, namun setelah melihat ragam model dan desain yang ditawarkan mereka jadi jatuh cinta dengan batik.

Harga busana batik yang ditawarkan di kios Ayun bervariasi, dari Rp 35.000 hingga Rp 10 juta untuk kain batik tulis asli buatan pengrajin.

Batik tulis memang lebih mahal karena bernilai tinggi. Menurut Ayun, nilai yang tinggi juga diikuti oleh kualitas bahan dan desain yang eksklusif. Kain batik tulis memiliki gambar desain yang tak pernah bisa sama, bahkan dalam satu lembar kain. Setiap desain pun hanya tersedia dalam satu kain, lantaran membutuhkan waktu untuk pembuatannya.



Paiu Cantika Batik
Thamrin City Lt. Dasar I Blok A 6a/No. 1- 2 Tanah Abang Jakarta Pusat
Kontak: Hani / Ayun
021-71490152

C1-10

Editor: din

Pasar Loyal untuk Busana Etnik




Kamis, 4/3/2010 | 14:02 WIB

KOMPAS.com - Busana dengan gaya etnik lagi ngetren saat ini. Pilihannya cukup bervariasi, tak cuma batik, tetapi juga kain-kain tenun atau ikat dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Nusa Tenggara.

Bila Anda jalan-jalan ke ITC Kuningan atau ITC Permata Hijau, Anda juga bisa menemukan busana dan aksesori etnik dari Thailand, India, dan China. Di ITC Kuningan, misalnya, ada Yuni's Butik yang memamerkan koleksi pakaian dari tempat-tempat tersebut.

Yuni Prawito, sang pemilik butik, tidak menyangka bahwa keisengannya membawa barang-barang etnik dari Thailand bakal mendapat respons cukup baik. Saat itu, sekitar tahun 1993, Yuni membantu salah seorang temannya untuk menjual sepatu, tas, dan pakaian dari Hongkong. ''Saya hanya membantu menjual. Tetapi barang-barang teman yang saya jual itu laku keras,'' kenangnya.

Berbekal keyakinan bahwa barang-barang semacam itu cukup memiliki pasar di Indonesia, Yuni pun bertekad melakoni bisnis yang sama. Ia bahkan diberi modal usaha oleh suaminya. Tak banyak, hanya Rp 10 juta. Namun jika sebelumnya ia hanya mengambil barang dari Pasar Pagi atau Tanah Abang, saat itu Yuni mulai memberanikan diri berburu barang ke luar negeri.

Negara tujuannya berburu antara lain Singapura, Kuala Lumpur, dan China. Ia termasuk salah satu yang pertama membawa sepatu merek Vincci di Jakarta (meskipun secara tidak resmi). Sejak saat itu ia kebanjiran banyak pesanan dari pelanggan, yang kebanyakan adalah teman dekat, teman kantor, dan ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalnya.

Walaupun sudah punya pelanggan dan modal tetap, waktu itu Yuni mengaku belum berani membuka butik. Ia hanya memanfaatkan garasi rumahnya untuk tempat ia berjualan.

Mengunjungi suku Long Neck
Tahun 1995, Yuni mulai mencari negara lain untuk kulakan baju-baju etnik. Untuk mendapatkan koleksi yang masih orisinal, Yuni berusaha mencari daerah pedesaan. Berbekal browsing di internet, ia menemukan salah satu daerah yang berjarak satu malam perjalanan dari Chiang Mai, Thailand.

Daerah yang ia maksud ternyata adalah tempat tinggal suku Karen, atau yang dikenal sebagai suku Long Neck. Anda mungkin sudah pernah mendengar suku ini; kaum perempuan di desa ini mengenakan kumparan dari kuningan sejak umur 6 tahun. Setiap kali jumlah kumparan ditambah, sehingga kelak membuat leher mereka menjadi panjang.

Perempuan suku Karen juga dikenal sebagai pembuat tribal arts, serta handycraft seperti patung kayu, wall hanging, dan berbagai perhiasan perak. Di sanalah Yuni berbelanja berbagai tas, sepatu, sandal, aksesori, dan pakaian buatan tangan kaum perempuan di desa ini.

''Mereka itu punya seni dan kreativitas yang baik, sehingga barang-barang yang mereka hasilkan juga bernilai tinggi,'' puji perempuan yang hobi traveling ini.

Karena suku Karen tak bisa berbahasa Inggris, untuk melakukan tawar-menawar harga Yuni mengaku punya cara khusus. ''Saya perlihatkan angka di kalkulator untuk menawar barang yang saya beli,'' ujarnya seraya tertawa.

Boleh bayar nyicil
Pakaian dan aksesori etnik dari negara-negara Asia ini ternyata cukup disukai pelanggan. Bahkan, ia harus berbelanja barang setiap tiga bulan, karena stok barang mulai habis. Cepatnya stok menipis sebagian karena Yuni tidak membeli sepatu, tas, sandal, atau pakaian, dalam jumlah banyak. Satu item barang ia batasi sekitar 6 buah saja. Itu pun dengan motif yang berbeda.

''Saya buat limited edition, karena memang pelanggan tidak suka terlalu banyak barang yang sama, karena kesannya jadi seperti pasaran,'' tutur perempuan berusia 53 tahun itu. ''Terkadang ada juga pelanggan yang pesan motif atau model tertentu, mungkin setelah mereka melihat di internet.''

Meskipun hanya tersedia dalam jumlah terbatas, harga yang ia tawarkan untuk koleksi butiknya itu tidak tergolong mahal. Untuk barang non handmade seperti pakaian ia hargai Rp 150.000 - Rp 400.000. Sedangkan untuk barang handmade, berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Harga yang sama juga ia terapkan untuk koleksi lain seperti tas dari kain perca, sulam kristik, atau bordir.

Karena telah memiliki pelanggan tetap, tahun 2002 Yuni mulai membuka kios di ITC Kuningan, Jakarta Selatan. Untuk mempromosikan koleksi dari kiosnya, Yuni memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook. Banyak pelanggan yang minta dikirimi contoh barang langsung ke rumahnya. Tak jarang pula Yuni menerima permintaan khusus melalui ponselnya.

''Lihat ini, salah satu pelanggan royal saya minta di-MMS model yang baru, soalnya dia tidak bisa buka e-mail,'' terangnya.

Yuni memang berusaha memberikan layanan yang memuaskan untuk para pelanggannya. Untuk sistem pembayaran, misalnya, tidak semua barang harus dibayar lunas. ''Ada juga yang dikredit tiga kali bayar, atau sesuai dengan kesanggupan mereka,'' ujar perempuan yang kini bisnisnya menghasilkan omzet antara Rp 5-10 juta per bulan.

Selalu update dengan model-model terbaru, dengan sistem pembayaran yang memudahkan, tidak mengherankan bila butik Yuni selalu didatangi pelanggan baru.



C2-10

Editor: din

Bisnis Sulaman Tas Tangan





Rabu, 10/3/2010 | 12:52 WIB

KOMPAS.com - Endang Rachminingsih menekuni sulam tangan sejak tahun 2005. Berkat kesabaran dan komitmennya terhadap sulaman, kini ia dipercaya mengisi butik dan toko suvenir di Istana Negara Republik Indonesia. Tak hanya itu, hasil-hasil sulamannya kini telah melanglang buana hingga ke luar negeri.

Kompas Female mendatangi rumah wanita kelahiran Bogor, 50 tahun silam itu di bilangan Meruya Selatan. Pada salah satu bagian dari rumah wanita empat anak itu dipenuhi dengan koleksi hasil kerajinan tangannya, sulaman tangan, dan sulaman mesin (bordir).

Hasil sulamannya itu ia terapkan menjadi tas tangan nan cantik, kotak tisu, kipas, hiasan dinding, hingga dompet. Endang, begitu ia akrab disapa, mengaku kalau memulai usaha sulam ini awalnya hanya untuk mengisi kekosongan setelah sang suami meninggal tahun 2004 silam.

Saat itu Endang tidak memiliki kesibukan apapun. Idenya timbul setelah membongkar koleksi buku yang dihadiahi oleh almarhum suaminya saat berdinas ke luar negeri. Buku-buku itu rata-rata adalah buku sulaman dan buku keterampilan.

Berbekal dengan keteguhan dan kesungguhan niat, Endang mempelajari sulaman tangan secara otodidak. ''Saya belajar dari nol. Saat itu saya hanya tahu hanya dua dasar teknik menyulam, yaitu tusuk batang dan rantai,'' ujar wanita yang besar di Madiun ini.

Satu bulan lamanya ia mempelajari teknik menyulam dan aplikasinya lewat buku-buku tersebut. Akhirnya ia bisa menguasai teknik-teknik dasarnya. Sembari belajar, ia juga melatih kemampuannya dengan memberikan kursus gratis pada anak-anak SLB di bilangan Meruya.

Saat itu sulaman yang dibuat diterapkan menjadi tas yang amat sederhana. ''Hasil sulaman anak-anak SLB saya potong dan jadikan tas yang sederhana sekali,'' kenang peraih sejumlah penghargaan UKM (Usaha Kecil Menengah) itu.

Tanpa disangka, ternyata hasil tas sederhana yang ia buat laku. Setelah itu ia mulai serius menekuni sulaman. Endang bekerja sama dengan dua orang penjahit untuk membuat sulamannya menjadi tas-tas cantik.

Ia tidak merasa kesulitan untuk mencari model untuk tas-tas pesanannya. Selain mencontoh dari buku-buku, Endang juga memiliki skill merangkai bunga yang ia pelajari dari Mayasari, sebuah perkumpulan merangkai bunga pimpinan Ir Suliantoro di Yogyakarta.

''Menyulam itu sama dengan merangkai bunga. Bedanya, menyulam menggunakan benang sedangkan merangkai menggunakan bunga segar. Secara teknik, sama,'' imbuhnya. Lewat keterampilan merangkai bunga itu ia memilih gradasi warna, motif, dan rangkaian sesuai dengan imajinasi dan pengalamannya dahulu.

Toko suvenir di Istana Negara
Bisnis sulaman Endang yang diberi nama Rumah Sulam Rachmy kian berkembang pesat. Terlebih setelah tahun 2006 ia memasukkan sejumlah kreasi sulamannya ke sejumlah toko ternama. Sebut saja toko Danarhadi, Martha Tilaar, Allure Batik, Chic Mart, hingga toko suvenir dan cinderamata Istana Negara RI. Khusus pesanan Istana Negara tidak dijual bebas.

Bahkan ia kerapkali dipercaya oleh ibu Hassan Wirajuda dan ibu Jusuf Kalla untuk membuatkan pesanan khusus bagi tamu negara. Terakhir ia mengikuti bazar dan pameran di Jepang bersama Yayasan Sulam Indonesia yang diketuai ibu Jero Wacik.

Ia mengawali kiprah penjualan ke pangsa pasar luas saat ia berkenalan dengan Ibu Wiwoho, penanggung jawab bagian barang di Danarhadi. Setelah lewat pemberitaan di media cetak dan elektronik, ia diminta untuk mengisi koleksi tas di sana.

Sedangkan untuk bisa masuk ke Istana Negara ia mengaku awalnya kenal dengan istri dari wakil duta besar Indonesia di Singapura. ''Setelah itu suaminya, Kemal Munawar, diangkat menjadi kepala rumah tangga Istana Negara. Jadilah saya diminta untuk mengisi toko suvenir dan cinderamata di sana,'' ungkapnya.

Allure juga sempat memintanya untuk mengisi koleksi tas mereka di Kemang. Perkenalannya dengan Djaka dari Allure dalam pameran INA CRAFT 2006 membuahkan kepercayaan untuk bekerjasama. ''Saya rajin ikut pameran INA CRAFT, caranya saya mendaftar lewat kantor UKM Jakarta Barat agar merek saya didaftarkan untuk pameran,'' katanya.

Sementara itu untuk menembus jalur hingga ke Jepang ia mengaku memiliki sepupu yang merupakan bendahara di Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional). Endang akhirnya dikenalkan pada Ibu Jero Wacik yang merupakan salah satu pengurusnya. Dekranas yang bernaung di bawah Departemen Pariwisata dan Kebudayaan mengajaknya untuk ikut pameran ke Jepang awal Februari 2010.

Mengurangi pesanan
Sejak tahun 2006 hingga awal 2009 pesanan tas sulamnya makin membludak. Saat itu memiliki 17 pekerja yang bertugas membordir dan juga menyulam. Ia sempat kewalahan dan tidak memiliki waktu bermain dengan empat orang cucunya.

''Saat itu kegiatan saya bukan hanya memenuhi pesanan. Saya juga dipanggil untuk mengajar TKW di Singapura, guru-guru SMK di Jakarta, sekolah-sekolah, atau lewat departemen dan instansi pemerintah,'' jelasnya. Bahkan ia juga menelurkan dua buah buku tentang sulaman di tengah-tengah kesibukannya itu.

Endang akhirnya berpikir untuk tetap bisa membagi waktu dengan keluarga sambil meneruskan usahanya. Awal tahun 2009 ia memutuskan untuk menghentikan beberapa kerjasamanya. ''Saya membuka butik dan workshop di rumah sambil juga memenuhi panggilan mengajar,'' tegasnya.

Ia mengajar ibu-ibu Darmawanita dan TKW yang dikarantina di Singapura, workshop di Bali bersama Samuel Wattimena dan istri wakil gubernur Bali, Ibu Bintang, mengajar sulaman pada anak-anak dhuafa di Joglo, dan lainnya.

Meskipun saat ini hanya menjalani usaha sulaman, namun orderan tidak pernah putus. Ia memperkerjakan 6 orang pembuat bordir dan tas, juga 3 orang penyulam tangan. Dalam satu bulan ia bisa menghasilkan puluhan tas sulam. Omzet yang diraihnya berkisar Rp 10-30 juta.

C2-10

Editor: NF